PENDAHULUAN

Berbicara tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.

Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama
secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama.

  1. Pengertian Agama.
Berdasarkan sudut pandang kebahasaan (bahasa Indonesia pada umumnya) Agma berasal dari kata sangsakerta yang artinya “tidak kacau”. Agama diambil dari dua suku kata, yaiu a yang berarti tidak, dan gama yang berarti kacau. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia supaya tidak kacau. Agama dalam bahasa Inggris bermakna religion, dan religie dalam dahasa Belanda. Keduanya berasla dari bahasa latin, religio, dari akar kata religare yang berarti mengikat.[1]

Dalam bahasa arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti. .Ia dapat diartikan al-mulk (kerajaan), al-khidmad (pelayanan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebijakan), al-adat (kebiasaan), al-ibadah (pengabdian) dan lain-lain. Sedangkan pengertian al-din yang berarti agam dalah nama yang bersifat umum. Artinya tidak ditujukan kepada salah satu agama; ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini.[2]

                Namun, beberapa ahli yang mengungkapkan pengertian tentang agama banyak yang terpengaruh  oleh ajaran yang mereka yakini, sehingga kadang-kadang terlatih sangat ekstern dan hanya bisa diterapkan pada agama smawi atau agama-agama yang banyak penganutnya saja.

Beberapa defenisi tentang agama yang dapat dipertimbangkan :

•         Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipenuhi;

•         Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia;

•         Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan adanya suatu sumber-sumber yang berada di luar diri manusia dan yang memengaruhi perbuatan manusia;

•         Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan ghaib

Ajaran-ajaran yang diwujudkan Tuhan kepada manusia melalui para Rasul-Nya (Harun Nasution)

B.Klasifikasi Agama

Ahmad Abdullah al- Masdoosi di dalam bukunya “ Living Religion of The World” mengklasifikasikan agama ke dalam :Revealed and non-relevead religion atau agama wahyu dan agama non wahyu

•         Ciri-Ciri Agama Wahyu :

–        Secara pasti dapat ditentukan lahirnya, dan bukan tumbuh dari masyarakat melainkan diturunkan kpd masyarakat

–        Disampaikan oleh manusia yang dipilih Tuhan sebagai utusan-Nya. Utusan itu tidak menciptakan agama, melainkan menyampaikannya

–        Memiliki kitab suci yang bersih dari campu tangan manusia

–        Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirannya berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan manusia

–        Konsep ketuhanannya adalah monotheisme mutlak (tauhid)

–        Kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.

•         Ciri-Ciri Agama non Wahyu

                - Tumbuh secara kumulatif dlm masyarakat penganutnya

                - Tidak disampaikan oleh tusan Tuhan

                - Umumnya tidak mengalami kitab suci, kalaupun ada banyak mengalami 

        perubahan2 dlm perjalanan sejarahnya

                - ajarannya dapat berubah2, sesuai dengan penrubahan akal pikiran

        masyarakatnya (penganutnya)

                - Konsep ketuhanannya dinamisme, animisme, politheisme dan paling tinggi

        monotheisme nishbi

                - kebenarana ajarannya tidak universal, tidak berlaku umum

C.KOMPONEN POKOK DALAM AGAMA

•         Emosi keagamaan

•         Sistem keyakinan

•         Sistem ritus dan upacara keagamaan

•         Peralatan dan tempat pelaksanaan ritus keagamaan

•         Pemeluk atau Penganut

D.AGAMA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

•         Mendidik manusia supaya mempunyai pendirian yang tentu dan terang, sikap posistif dan tepat.

•         Agar manusia memiliki ketentraman jiwa

•         Alat untuk membebaskan manusia dari perbudakan materi

•         Supaya manusia berani menegakkan kebenaran.

•         Agar manusia memiliki sifat utama manusia : jujur, amanah, rendah hati

•         Mendidik manusia untuk beramal shalih

E.FAKTOR PENYEBAB PENYIMPANGAN MANUSIA DARI AGAMA

1.Pandangan politik yang dianut oleh berbagai kelompok dan lembaga yang sengaja memerangi agama karena dipandangnya tidak sejalan dengan kepentingan atau keyakinan kelompok atau lembaga tersebut.

2.Ketegangan batin yang timbul akibat konflik yang tak terpecahkan antara persepsi dan gambaran-gambaran keagamaan yang keliru yang diterimanya dengan corak pemikiran logis serta pemikiran ilmiah, yang  dapat membawa pada penolakan samasekali kemungkinan adanya Tuhan .

3.Lingkungan masyarakat yang tidak kondusif bagi pengembangan potensi beragama, seperti masyarakat yang didominasi oleh kecenderungan hedonistik dan materialistik, yang dapat memudarkan perasaan keagamaan dan melemahkan pengaruh agama dalam masyarakat tersebut

Orang yang menyimpang dari agama sebenarnya juga beragama. Dalam pengertian “ Mendasarkan hidup mereka pada sesuatu yang mereka pandang mutlak “. “agama” yang mereka peluk bukan benar-benar agama (genuine religion), tetapi merupakan agama semu (pseudo religion), yaitu paham atau ideologi hasil rekayasa manusia sendiri.[3]

F.Makna Islam

Islam adalah agama dan ajaran wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT untuk kelangsungan dan kebahagian makhluq-Nya di dunia sampai di Akhirat kelak. Tidak benar orang yang beranggapan Islam adalah agama yang hanya diajarkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga mereka mengidentikkan Islam sebagai “mohamadisme”.

Islam ada sejak Nabi pertama Adam AS sampai kepada Nabi terakhir penutup nabi dan rasul, Muhammad SAW.

Perhatikanlah ungkapan Nabi Nuh AS,

“Dan aku diperintahkan untuk menjadi golongan muslimin.” [4]

Do’a Nabi Ibrahim;

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri (muslim) kepada-Mu.” [5]

Nasehat Nabi Ya’qub AS;

“Sesungguhnya Allah telah memilih untuk kalian agama, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”[6]

Pengakuan Nabi Yusuf AS;

“Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan masukkanlah aku pada golongan orang-orang yang shalih.” [7]

Demikian pula ikrar Nabi Isa AS;

“Aku beriman kepada Allah dan aku bersaksi bahwa aku adalah muslim.” [8]

Setiap nabi dan rasul diutus kepada umatnya masing-masing, kecuali Nabi Muhammad SAW sebagai khatamun nabiyin diutus untuk seluruh umat manusia[9] dan hal ini telah diisyaratkan oleh kitab-kitab sebelum Al-Quran.

Karenanya, syari’at Islam dari Nabi terakhir wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia, sebab Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah penyempurna seluruh syari’at sebelumnya.

Kata “Al-Islam” berasal dari akar kata Aslama - Yuslimu - Islaman yaitu berserah diri. Para ulama mendefinisikan Islam yaitu berserah diri kepada Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta seluruh khabar-Nya yang disampaikan lewat lisan wahyu.

Menurut Sa’id Hawwa, Islam secara umum memiliki dua makna;

1) Yaitu nash-nash yang berupa wahyu Allah SAW sebagai penjelasan akan keberadaan Allah SWT.

2) Tentang amal manusia dalam mengimani Allah lewat nash-nash-Nya dan berserah diri melaksanakan nash-nash tersebut.

Sedangkan definisi Islam berdasarkan hadits diantaranya;

 Dari Thalhah Bin ‘Ubaidillah, dia berkata; “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW, kemudian bertanya tentang Islam. Rasulullah SAW bersabda; “Shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Dia bertanya lagi; “Apakah ada yang lainnya?” Beliau bersabda; “Tidak, kecuali jika kau akan melakukan yang sunat.” Kemudian beliau menjelaskan kewajiban zakat. Dia bertanya lagi; “Apakah ada yang lainnya ?” Beliau bersabda; “Tidak, kecuali jika kau akan melakukan yang sunat.” Dia merenung dan berkata; “Aku tidak akan menambah atau menguranginya.” Maka Rasulullah SAW bersabda; “Jika benar, sungguh kau beruntung atau masuk surga.” [10]

          Mu’awiyah Bin ‘Ubaidah dari Bapaknya dari Kakeknya; “Aku bertanya kepadamu tentang Allah, dengan apa engkau diutus kepada kami ?” Beliau bersabda; “Dengan Islam.” Aku bertanya lagi; “Apa ciri-ciri Islam ?” Sabdanya; “Kamu berikrar, aku berserah diri kepada Allah sepenuh hati dan mendirikan shalat, membayar zakat. Setiap muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara dan saling menolong. Tidak akan diterima amal syirik setelah Islam yang membedakan kaum musyrikin dan muslimin.” [11]

          Rasulullah SAW bersabda; “Islam itu, engkau bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadlan dan menunaikan haji jika engkau mampu di jalannya.” [12]

Maka asas Islam itu terdiri dari rukun Islam yang berupa aqidah dan ibadah. Aqidah ialah keyakinan dan iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab, para nabi, hari akhir dan qadla dan qadar. Ibadah adalah syahadat, shalat, zakat, shaum dan haji.

Namun, ajaran Islam tidak sampai di situ. Islam juga memberikan sistem hidup untuk pribadi dan masyarakat bahkan negara, meliputi sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan seluruh aspek kehidupan manusia.

Sesuai makna Islam di atas, tanpa kita berserah diri pada ajaran wahyu dari Allah SWT lewat utusan-Nya apalagi bertolak belakang dengan syari’at-Nya, maka hal itu tidak lagi disebut Islam atau muslim.[13]

Juga menurut Sa’id Hawwa, seseorang yang telah Islam, yang pertama kali harus difahami dan dihayati adalah Al-Ushul Ats-Tsalatsah, yaitu tiga dasar yang menentukan kebenaran Islam kita, Pertama; Allah, kedua; Islam dan ketiga; Rasul. Beliau menegaskan pandangannya dengan sebuah hadits; “Nikmatnya rasa iman ada pada Keridlaan bahwa Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul.” [14]

Riwayat lain menyebutkan sabda Rasulullah SAW ; “Barangsiapa yang mengucapkan; RADLITU BILLAHI RABBA WA BIL ISLAM DINA WABI MUHAMMAD SAW NABIYA, maka dia berhak mendapat surga.” [15]

Maka, setiap muslim dituntut untuk menggali makna ketiga aspek tadi dalam rangka mendapatkan kebenaran Islam dan kenikmatan iman.[16]

G.Makna Aqidah

I.Aqidah Secara Etimologi
Aqidah berasal dari kata 'aqd yang berarti pengikatan. Kalimat "Saya ber-i'tiqad begini" maksudnya: saya mengikat hati terhadap hal tersebut.

Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan "Dia mempunyai aqidah yang benar" berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.

II.Aqidah Secara Syara'
Yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.  Syari'at terbagi menjadi dua: i'tiqadiyah dan amaliyah.I'tiqadiyah adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Seperti i'tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban

beribadah kepadaNya, juga beri'tiqad terhadap rukun-ru­kun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok agama). Sedangkan amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti shalat, zakat, puasa dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Bagian ini disebut far'iyah (cabang agama), karena ia di­bangun di atas i'tiqadiyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i'tiqadiyah.

         Maka aqidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala:
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhan­nya." (Al-Kahfi: 110)
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu ter­masuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)
"Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik)." (Az-Zumar: 2-3).


Ayat-ayat di atas dan yang senada, yang jumlahnya banyak, menunjukkan bahwa segala amal tidak diterima jika tidak bersih dari syirik. Karena itulah perhatian Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang pertama kali adalah pelu­rusan aqidah. Dan hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia.
Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu', ..." (An-Nahl: 36) Dan setiap rasul selalu mengucapkan pada awal dakwahnya: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada tuhan bagimu selainNya." (Al-A'raf: 59, 65, 73, 85) Pernyataan tersebut diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu'aib dan seluruh rasul. Selama 13 tahun di Makkah -sesudah bi'tsah- Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan aqidah, karena hal itu merupakan landasan bangunan Islam. Para da'i dan para pelurus agama dalam setiap masa telah mengikuti jejak para rasul dalam berdakwah. Sehingga mereka memulai dengan dakwah kepada tauhid dan pelurusan aqidah, setelah itu mereka mengajak kepada se­luruh perintah agama yang lain.[17]

III.Makna Syari’at[18]

Secara bahasa, syari’at berasal dari kata asy syar’u. Yang memiliki arti: membuat jalan, penjelasan, tempat yang didatangi, dan jalan. Adapun secara istilah, syari’at memiliki makna umum dan khusus.

Makna syari’at secara umum adalah, agama yang telah dibuat oleh Allah, mencakup ‘aqidah (keyakinan) dan hukum-hukumbnya. Sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta’ala:

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Asy Syuura/42 :13)

Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari as-Suddi tentang firman Allah Ta’ala “Dialah yang telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh”, dia berkata: “(Maksudnya) yaitu agama semuanya (yakni semua bagian-bagiannya, Pen.)”.

Sedangkan makna syari’at secara khusus, yaitu peraturan yang dibuat oleh Allah yang berupa hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala:

“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al Maa’idah/5 :48)

Telah diketahui bahwa maksud syari’at (aturan) dalam ayat ini adalah peraturan-peraturan, bukan ‘aqidah. Karena ‘aqidah seluruh nabi semua sama, sedangkan peraturannya berbeda-beda sesuai dengan keadaannya.[19]

Dengan demikian kita mengetahui, bahwa syari’at memiliki makna umum dan khusus. Jika syari’at di sebut sendiri, maka yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari’at disebut bersama ‘aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan ‘aqidah (keyakinan)

IV.Hubungan ‘Aqidah Dengan Syari’at

Istilah ‘aqidah, jika disebut secara umum (sendirian), berarti menyangkut pokok-pokok dan hukum-hukum syari’at dan keharusan dalam mengamalkannya. Sebagaimana istilah syari’at. Jika disebut secara umum (sendirian), maka itu menyangkut perkara-perkara keimanan dan pokok-pokok serta hukum-hukum syari’at yang pasti, yaitu ‘aqidah. Sebagaimana di atas telah dijelaskan dari firman Allah Ta’ala:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu,..” (Asy Syuura/42 :13)

Dengan demikian, maka ‘aqidah dan syari’at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang di sebut dengan ‘aqidah, dan amalan ini yang disebut syari’at. Karena memang iman itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup keyakinan dan amalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” ( Al Hujuraat/49 : 15)

Juga firman-Nya:

“Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya[. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari.” (Al A’raaf/7 : 2-4)

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan, bahwa iman itu terdiri dari keyakinan dan amalan.

V.Hubungan Aqidah Dan Ibadah
Hubungan antara aqidah dan ibadah ialah sama sama satu kandungan dari Ayat-ayat Al-qur’an secara garis besar dan terbagi menjadi beberapa pokok diantaranya sebagai berikut :
1. Aqidah / Akidah
Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.
2. Ibadah
Ibadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian "fuqaha" ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dkerjakan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT. Bentuk ibadah dasar dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum dalam lima butir rukum islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan suci ramadhan dan beribadah pergi haji bagi yang telah mampu menjalankannya.[20]

VI.Sumber Dan Penyebab Menyimpangnya Aqidah
Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah perlu diketahui, di antaranya sebagai berikut.

1. Akal yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Juga kebodohan terhadap aqidah shahihah. Contoh akal yang tak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah adalah akal Iblis, yaitu dengan akalnya iblis menentang Allah SWT.

“Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku

menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang

dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raaf: 12).

Di samping itu, kebodohan terhadap aqidah yang benar mengakibatkan tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Kebodohan itu disebabkan beberapa faktor di antaranya karena tidak mau mempelajari, tidak diajari sejak kecil hingga tua, bahkan di kalangan Muslimin belum tentu diajarkan aqidah yang benar, karena enggan, karena kurang perhatian, dan ada pula karena desakan yang dahsyat dari pengaruh aqidah-aqidah yang bathil. Maka para ulama, ustadz, da’i dan para orang tua hendaknya memperhatikan ummat dan generasi Muslim agar mereka mengenal aqidah yang benar, supaya tidak tersesat.

2. Mengikuti hawa nafsu. Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi: 28). Nabi Muhammad Saw bersabda:

“Iyyaakum walghuluwwa fid diini fainnamaa halaka man kaana qoblakum bilghuluwwi.”

Artinya:

“Jauhilah oleh kamu sekalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama karena sesungguhnya

rusaknya orang dulu sebelum kamu itu hanyalah karena ghuluw.

3. Karena menirukan penyelewengan tingkah laku pemeluk agama-agama terdahulu. Nabi Saw

bersabda:

“Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wadziroo’an bi dziroo’in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hattaa lau anna ahadahum jaama’am-ro’atahuu bitthoriiqi lafa’altumuuhu.”

Artinya:

“Pasti kamu sekalian benar-benar akan melakukan perbuatan-perbuatan orang yang telah ada sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya salahsatu mereka,masuk lobang biawak pasti kamu masuk (pula), dan sampai-sampai seandainya salahsatu mereka menyetubuhi perempuannya di jalan pasti kamu sekalian melakukannya (pula). [21]

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Beberapa defenisi tentang agama yang dapat dipertimbangkan :

•         Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipenuhi;

•         Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia;

•         Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan adanya suatu sumber-sumber yang berada di luar diri manusia dan yang memengaruhi perbuatan manusia;

•         Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan ghaib

DAFTAR PUSTAKA

1.Al qur’an al karim

2.Tafsir ath-Thabari, Juz 11

3.Syarah Aqidah Safariniyah, I,

4.Sa’id Hawwa, Al-Islam

5.Kahmad Dadang H. Dr. M.Si. “Sosiologo Agam” Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002

6.Ahmad Abdullah al- Masdoosi “ Living Religion of The World

7.http://stie-wp.blogspot.com/2009/10/hubungan-aqidah-dan-ibadah.html

8.As-Suyuthi  Al-Jami’ as-Shaghir



[1] Kahmad Dadang H. Dr. M.Si. “Sosiologo Agam” Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.


[2] Ibid. 14


[3] Ahmad Abdullah al- Masdoosi “ Living Religion of The World


[4] QS. Yunus:72


[5] QS. Al-Baqarah:128.


[6] QS. Al-Baqarah:132


[7] QS. Yunus:101.


[8] QS. Ali Imran:57.


[9] QS. Al-Anbiya: 107, QS. Saba: 28


[10] HR. Enam orang kecuali At-Tirmidzi, menurut riwayat Abu Dawud, 

    “Beruntunglah dia dan bapaknya, jika benar.”


[11] HR. An-Nasa-i.


[12] HR. Lima orang kecuali Al-Bukhari.


[13] Sa’id Hawwa, Al-Islam:10-12.


[14] HR. Muslim & At-Tirmidzi.


[15] HR. Muslim, An-Nasa-i & Abu Dawud


[16] Sa’id Hawwa, Allah, 1995.


[17] Syarah Aqidah Safariniyah, I, hal. 4.


[18] ibid, hlm. 10-11




[19] Lihat dua riwayat ini di dalam Tafsir ath-Thabari, Juz 11, hlm. 134


[20] http://stie-wp.blogspot.com/2009/10/hubungan-aqidah-dan-ibadah.html


[21] (HR Al-Hakim dari Ibnu Abbas, berderajat shahih menurut As-Suyuthi dalam Al-Jami’ as-Shaghir).




Leave a Reply.