PENDAHULUAN

Islam adalah agama aqidah dan syariah. Perpaduan antara keduanya adalah syarat suatu kebenaran. Keikhlasan dan amal sholeh baik, benar dan laik menurut Allah harus tercermin dan terpadu dalam setiap kepribadian muslim. Aqidah adalah unsur mendasar yang harus dipahami dan dimiliki manusia. Ia merupakan pijakan dan frame segala pemikiran, perasaan dan prilakunya dalam mengarahkan kehidupan ke arah yang benar. Istilah yang menjadi standar kebenaran berfikir, merasakan dan bertindak ini hendaknya menjadi perhatian prioritas pemahaman dan keilmuan sebelum segala sesuatunya. Tidak satupun Nabi dan Rasul diutus melainkan 
untuk menjelaskan dan meluruskan dua asas ini. Bias tentang standar kebenaran yang sering muncul adalah akibat mengabaikan unsur ini. Padahal puncak pencarian kebenaran akan berakhir pada siapa yang menghendaki sesuatu kebenaran dan cara pencapaiannya.

Siapa saja yang memahami dan berbuat sesuai dengan kehendaknya maka akan dinilai sebagai kebenaran.Keyakinanlah yang kemudian menggiring dan mengharuskan seseorang mematuhi setiap kehendaknya.Dengan demikian yang menjadi persoalan sekarang adalah siapa yang harus kita yakini sebagai seseorang yang menghendaki kebenaran. dari sekian yang dianggap paling mengetahui tentang kehendak suatu kebenaran adalah Pencipta kebenaran itu sendiri.Dia-lah Yang Maha mengetahui kebenaran tujuan, kewajiban dan hak manusia dalam kehidupan sesuai dengan kehendak-Nya.Puncak dan akhir pengabdian dan penyerahan diri yang harus kita buktikan akan bermuara pada siapa Pencipta ini.Selanjutnya bagaimana cara memahami dan menyikapi kehendak tersebut dalam kehidupan nyata.Tentu saja hanya petunjuk-Nya semata yang dijamin kebenarannya dalam memaparkan kehendaknya.Dan untuk memahami sesuai kehendaknya harus langsung dari-Nya. Jika tidak bisa maka melalui nara sumber seorang rasul yang direkomendasikan dan para pengikutnya yang setia dan konsisten terhadap pemahaman dan sekaligus penerapannya.[1]

 

I.Definisi Aqidah

Secara etimologis ( bahasa ) Aqidah berarti :

1- simpul atau ikatan ,2- sumpah atau perjanjian dan3- kehendak yang kuat .

Secara terminologis ( istilah ) :

1- Aqidah adalah hal-hal yang diyakini kebenarannya oleh jiwa,mendatangkan ketentraman hati, menjadi keyakinan yang kokoh yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan .

2- Aqidah adalah sejumlah persoalan (kebenaran) yang dapat diterima secara umum ( axioma ) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. Kebenaran itu dipatrikan didalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu .dari uraian tersebut ada beberapa catatan:

1- Axioma ( badihiyah ) adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi perlu pembuktian misalnya : sebagian lebih sedikit dari seluruh , sepertiga lebih sedikit dari dua pertiga.

2- Setiap manusia memiliki fithrah untuk mengakui kebenaran ( bertuhan ), indra untuk mencari kebenaran , akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak.[2]

            Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan makna iman itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti. Bersifat pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya dan sesuai dengan fakta, bukan diada-adakan (mis. keberadaan Allah, kebenaran Quran, wujud malaikat dll). Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu, tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti.

Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra/aqal, maka dalil keimanannya bersifat aqli, tetapi jika tidak (yaitu di luar jangkauan panca indra), maka ia didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata:

“Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini seperti merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.[3]

II.Sumber Aqidah Islam

 

Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah . Apa saja yang disampaikan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah Saw. Dalam sunnahnya wajib diimani ( diyakini dan diamalkan ) . Dalam hadits disebutkan :

تركت فيكم أمرين إن تمسكتم بهما لن تضلوا أبدا كتاب  الله وسنة رسوله

" “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara ,jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitabullah dan sunnah rasul Nya“.

Akal fikiran tidaklah menjadi sumber aqidah , tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh Al- Qur’an dan sunnah . itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluq Allah.Akal tidak akan mampu menjangkau masalah-masalah ghaib, bahkan tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu. Oleh sebab itu akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghoib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghoib itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa berita tentang hal hal-hal ghoib tersebut dibuktikan secara ilmiah oleh akal pikiran .[4]

Berikut ini penjelasan singkat tentang kaidah-kaidah pokok mengenai manhaj pengambilan sumber aqidah Islam dan pengambilan dalil menurut Dr Nashir Abdul Karim Al-Aql.:

1. Sumber aqidah adalah Kitab Allah (Al-Qur’anul Karim), Sunnah Rasul-Nya saw yang shahih, dan ijma’ salafus shalih (kesepakatan generasi terdahulu yang baik).

2. Setiap Sunnah Rasul saw yang shahih wajib diterima, walaupun sifatnya hadits ahad (setiap jenjang, periwayatnya tidak mencapai jumlah mutawatir, sekalipun 3 orang lebih. Kalau hadits mutawatir setiap Jenjang diriwayatkan oleh banyak orang).

3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah adalah nash-nash penjelas (teks ayat ataupun hadits yang menjelaskan maksud-maksud ayat atau hadits). Rujukan lainnya adalah pemahaman salafus shalih, dan pemahaman imam-imam yang berjalan di atas manhaj (jalan) salafus shalih. Dan apa yang telah ditetapkan dari Al-Quran dan As-Sunnah tidak dipertentangkan dengan pengertian (lain) yang semata-mata kemungkinan-kemungkianan dari segi bahasa.

4. Dasar-dasar agama semuanya telah dijelaskan oleh Nabi saw, maka tidak ada hak bagi seorang pun untuk mengadakan sesuatu yang baru dengan anggapan bahwa itu termasuk dalam agama.

5. Pasrah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya saw (dalam hal penetapan Islam ini) secara lahir maupunbatin. Maka tidak ada hak untuk mempertentangkan satu hal pun dari Al-Quran ataupun dari As-Sunnah yang shahih (baik mempertentangkannya itu) dengan qiyas, ataupun dengan perasaan, kasyf (klaim tersingkapnya hijab/ tabir hingga melihat yang batin/ ghaib), ucapan syaikh, pendapat imam dan sebagainya.

6. Akal yang obyektif dan benar akan sesuai dengan naql (ayat ataupun hadits) yang shahih. Keduanya tidak akan bertentangan selamanya. Dan ketika terjadi kebimbangan yang bertentangan maka didahulukanlah naql (ayat ataupun hadits).

7. Wajib memegangi lafal-lafal syar’i dalam aqidah, dan menjauhi lafal-lafal bid’ah (bikinan baru). Sedangkan lafal-lafal yang mujmal (garis besar/ global) yang mengandung kemungkinan benar dan salah maka ditafsirkan dari makna (lafal)nya, lantas hal yang keadaannya benar maka ditetapkanlah dengan lafal kebenarannya yang syar’i, sedang hal yang batil maka ditolak.

8. Al-’Ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) itu tetap bagi Rasul saw, sedang ummat ini terjaga tidak akan bersepakat atas kesesatan. Adapun orang perorangnya maka tidak ada ‘ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) bagi seseorang pun dari ummat Islam ini. Sedang hal-hal yang ada perselisihan di kalangan para imam dan lainnya maka tempat kembalinya adalah kepada Al-Quran dan As-Sunnah;kemudian mujtahid ummat yang bersalah agar meminta ampun.

9. Di kalangan ummat ada muhaddatsun (orang-orang yang mendapatkan bisikan ghaib), mulahhamun (orang-orang yang mendapatkan ilham), dan mimpi yang benar itu adalah haq/ benar; dan itu adalah sebagian dari nubuwwah (kenabian), dan firasat yang benar itu adalah haq/ benar. Ini semua adalah karomah (kemuliaan) dan mubassyaroot (khabar-khabar gembira) –dengan syarat hal itu sesuai dengan syara’—dan itu semua bukanlah merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula sumber bagi syari’at.

10. Bertengkar dalam agama itu tercela, tetapi berbantahan (mujadalah) dengan baik itu masyru’ah (disyari’atkan). Dalam hal yang jelas dilarang menceburkan diri dalam pembicaraan panjangtentangnya, maka wajib mengikuti larangan itu. Dan wajib mencegah diri dari menceburkan diri untuk berbicara mengenai hal yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim (misalanya tentang ruh yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah SWT) maka menyerahkan hal itu kepada Allah SWT.

11. Wajib memegangi manhaj wahyu dalam menolak sesuatu, sebagaimana wajib pula memegangi manhaj wahyu itu dalam mempercayai dan menetapkan sesuatu. Maka tidak boleh menolak bid’ah dengan bid’ah, dan tidak boleh melawan tafrith (kelengahan, gegabah/ sembrono, sekenanya saja) dengan ghuluw (berlebih-lebihan, ekstrem), tidak pula sebaliknya, ghuluw dilawan dengan tafrith, itu tidak boleh.

12. Setiap bikinan baru dalam agama itu bid’ah, dan setiap bid’ah tu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.[5]

III.Kedudukan dan Peran Aqidah dalam Islam

 

Di antara peran penting lain aqidah adalah menyesuaikan keyakinan dan perasaan seseorang dengan fakta kehidupan yang sesungguhnya. Setelah ia mendapat informasi yang akurat mengenai kepastian keberadaan fakta tersebut. Fakta-fakta yang menjadi masalah terbesar dalam hidup manusia antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan ketuhanan dan masalah-masalah ghaib, metafisik dan transendental lainnya seperti mengenai ruh. Lagi-lagi manusia dengan kondisi keilmuan yang dibatasi ruang dan waktu tidak mampuh menjangkau bidang ini. Oleh karena itu ia membutuhkan informasi tentang hal itu dari orang lain. Dan keyakinanlah yang paling dominan untuk membenarkan fakta ini.

Membenarkan sebuah informasi berdasarkan keyakinan kepada informan pembawa berita bukan tidak argumentatif. Selama sang pembawa info ini seorang yang jujur dan dikenal bukan seorang pendusta.Apalagi jika ia seorang aktor atau pelaku dalam peristiwa itu. Karena sementara akal dan nalarnya tidak sanggup dipaksakan untuk mengamatinya mengingat keterbatasan ruang dan waktu tadi. Coba dari sekian informasi yang kita terima sehari-hari, baik yang ilmiah akademik atau berita biasa, berapa prosenkah yang diterima berdasarkan pengamatan dan penelitian nalar terhadap fakta dan peristiwanya, jika dibandingkan dengan kepercayaan hati kepada si pembawa beritanya?Di sini betapa besar peran keyakinan dalam kehidupan manusia.





1. Aqidah merupakan misi pertama yang dibawa para rasul Allah.

Allah berfirman:Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An-Nahl: 36)

2. Manusia diciptakan dengan tujuan beribadah kepada Allah.

Allah berfirman:”Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Dan bahwasanya amal ibadah seseorang tidak diterima kecuali jika bersumber dari aqidah yang benar.

Allah berfirman:“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir lalu mengerjakan amal kebajikan maka bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka.” (QS. Al-Baqarah: 62)

”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan (pada nabi) sebelum kamu jika kamu berbuat ke syirikan niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az-Zumar: 65)

Dan Rasulullah bersabda:”Barangsiapa mengada-ngada dalam urusan agama ini sesuatu yang baru yang bukan darinya maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari)

3. Aqidah yang benar dibebankan kepada setiap mukallaf.

Nabi bersabda:”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang sebenarnya selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul utusan Allah.” (Muttafaq ‘alaih)

4. Berpengang kepada aqidah yang benar merupakan kewajiban manusia seumur hidup.

Allah berfirman:

”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami ialah Allah kemudian merkea beristiqomah (teguh dalam pendirian mereka) maka para malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata) : “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang dijanjikan Allah kepadamu.”(QS. Fushilat: 30)

Dan Nabi saw bersabda:”katakanlah: Aku beriman kepada Allah kemudian beristiqomah-lah (berlaku lurus-lah) kamu.” (HR. Muslim dan lainnya)

5. Aqidah merupakan akhir kewajiban seseorang sebelum meninggalkan dunia yang fana ini.

Nabi saw bersabda:“Barangsiapa yang akhir ucapannya “Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah niscaya dia akan masuk surga”. (HSR. Al-Hakim dan lainnya)

6. Aqidah yang benar telah mampu menciptakan generasi terbaik dalam sejarah umat manusia, yaitu generasi sahabat dan dua generasi sesusah mereka.

Allah berfirman:

”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kamu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran: 110)

Dan Rasulullah saw bersabda:

”Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku (yaitu para sahabat) kemudian yang berikutnya (yaitu generasi tabi’in) kemudian berikutnya (yaitu generasi tabi’ut-tabi’in).” (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya).

7. Kebutuhan manusia akan aqidah yang benar melebihi segala kebutuhan lainnya karena ia merupakan sumber kehidupan, ketenangan dan kenikmatan hati seseorang. Dan semakin sempurna pengenalan serta pengetahuan seorang hamba terhadap Allah semakin sempurna pula dalam mengagungkan Allah dan mengikuti syari’at-Nya.

Nabi saw bersabda yang artinya:

”Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah dan paling mengetahui-Nya diantara kamu sekalian adalah aku.” (HR. Bukhari)[6]

IV.Rumusan Aqidah Islam



Rukun-rukun Iman yang enam merupakan rumusan aqidah Islam yang mampuh menjelaskan masalah-masalah terbesar dalam kehidupan manusia. Keenam rukun ini saling terkait dan membentuk mata rantai dan bingkai paradigma yang jelas untuk menjawab tuntutan kebutuhan dasar manusia. Iman kepada Allah, eksistensi, sifat-sifat dan nama-nama baik-Nya adalah poros yang menjadi orbit kelima rukun iman lainnya. Rukun pertama ini menjadi puncak seluruh kebenaran pengabdian manusia. Karena kelima rukun lain bagian dari kehendak-Nya dan sangat terkait dengan cara dan metodologi memahami dan mengetahui kebenaran kehendak-Nya serta cara menyikapinya. .Iman kepada malaikat sebagai makhluk yang selalu berada di sisi Allah dan patuh tak pernah maksiat kepada-Nya menempati posisi ke dua. Lewat salah seorang merekalah yaitu Jibril Allah mewahyukan kehendak-Nya yang berisikan informasi yang sarat dengan petunjuk yang diperlukan manusia dalam memahami hakikat juklak kebenaran dalam kehidupan. Wahyu yang dihimpun dalam kitab-kitab-Nya ini menempati posisi rukun iman ke tiga. Dalam memahami dan mengamalkan kehendak dan petunjuk ini diperlukan penerjemah sekaligus sebagai contoh penerapannya. Mengingat salah satu sifat dasar dan fitrah manusia yang lain adalah meniru dan mencontoh seseorang. Maka Allah mengutus para rasul-Nya sebagai uswah hasanah yang mewariskan pemahaman dan penerapan yang benar kepada para pengikut-nya yang setia. Betapa pentingnya mengakui kehadiran contoh ini sehingga menempati rukun iman ke empat yang statemennya disatukan dalam kalimah syahadat yang ke dua. Setiap manusia menghendaki hasil yang dipetik dari jerih payah yang dilakukannya. Sekaligus membuktikan dan mengalami kebenaran setiap petunjuk dari Yang Maha diyakininya dalam kehidupan. Di samping urgensi lain yang muncul saat meyakini akibat dan balasan yang diperolehnya berdampak besar dalam mengawasi dan mengontrol kehidupannya.

Maka urgensi beriman kepada hari akhir untuk memasuki alam akhirat dan pembalasan menempati rukun iman ke lima. Namun semua itu akan bermuara pada ketetapan Allah, baik maupun buruk, dalam qadla dan qadar-Nya. Sebagai Pencipta alam, manuisa dan kehidupan Allah tidak pernah membuat keputusan melainkan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya yang pasti. Rahmat Allah amat meliputi segala sesuatu. Manusia tidak perlu cemas terzalimi di sisi Allah Azza wa Jalla.

Seluruh rukun iman ini merupakan bingkai dan standar kebenaran bagi manusia. Dengan keenam rukun ini manusia mendapat kejelasan dalam memahami dan menerapkan apa arti suatu kebenaran berdasarkan fakta-fakta argumentatif. Jika ini dianggap sebagai doktrin maka tidaklah keliru seseorang untuk menjadikannya sebagai prinsip. Karena tidak semua doktrin bisa dinilai tidak ilmiah. Bahkan betapa banyak sisi kehidupan manusia yang ditetapkan dengan doktrin yang sudah cukup faktual dan aksiomatis kebenarannya. Aqidah Islamiah, Kepribadian dan Peradaban Manusia Aqidah Islamiyyah adalah dasar dan pola pembentukan kepribadian dan peradaban manusia. Ia bukan produk dan rumusan nalar atau sosio-kultural manusia. Melainkan semua muatan berita dan instruksinya berasal dari Pencipta manusia yang disajikan dalam wahyu-Nya. Inilah yang membedakan aqidah Islam dan aqidah-aqidah lainnya. Di mana aqidah lain berpangkal dan bermuara pada hasil kebudayaan manusia dalam satu kurun sejara

 Pengaruh dari perbedaan mendasar ini aqidah Islam adalah bingkai pradigma pemikiran, perasaaan dan prilaku manusia. Yang secara evolutif lambat laun berproses menjadi visi dan misi yang melahirkan kepribadian dan peradaban manusia. Ia tidak dapat dipengaruhi dan bukan hasil kebudayaan tertentu suatu bangsa. Hal yang mungkin sekali terjadi terhadap aqidah lain. Mengingat aqidah non Islam tersebut memang dirumuskan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman seseorang atau suatu bangsa. Atau hasil adopsi, modifikasi dan rekayasa darikeyakinan agama tertentu. semua rukun iman yang enam ini ditetapkan berdasarkan ketentuan khobari ˜informatif Tidak satupun yang disimpulkan berdasarkan pengamatan dan pengalaman seseorang. Keenam rukun ini bersih dari unsur subyektifitas manusia. Baik kepentingan maupun keterbatasan ruang dan waktu yang diamati dan dialami manusia. Semua ketentuan itu datang dari Yang Maha Berkehendak di alam, manusia dan kehidupan ini.Dia adalah Allah sebagai Pencipta, Pengatur, Pemilik, Raja dan tempat kembali untuk memperoleh balasan masing-masing atas hasil keyakinan dan amal perbuatannya.

Paradigma ini dapat dipahami dengan ilustrasi realita struktur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di mana seluruh aktifitas manusia harus seirama dan tunduk di bawah kehendak yang dianggap memiliki political will atau kedaulatan dalam negara. Apakah berupa sosok individu seorang kepala negara atau suatu bangsa rakyat  Jika ini dapat diterima sebagai suatu peraturan dan paradigma ilmiah, kenapa ada keberatan untuk tunduk dan menerima kebenaran yang berasal dari Pencipta, yang secara aksiomatis Maha mengetahui struktur dan tujuan ciptaan-Nya, sekaligus sebagai Maalikal Mulki Pemilik seluruh kerajaan serta Pemegang hak prerogatif dalam mengatur alam semesta, termasuk manusia dan kehidupannya.

  Obyektifitas kehendak Allah juga dapat dirasakan dengan tidak adanya kepentingan Allah sedikitpun dalam aturan-Nya bagi manusia. Semua peraturan syariah yang ditetapkan-Nya semata-mata demi mewujudkan kemashlahatan manusia. Ini terlihat dengan betapa kecilnya keberadaan bumi dan seisinya jika dibandingkan dengan satu galaksi saja dari universe -alam semesta-ini.Kehilangan sebuah titik bumi dalam bentangan galaksi Bima sakti yang ditempatinya tidak akan mempengaruhi kerajaan Allah. Jadi apa yang Allah inginkan bagi manusia dalam aqidah dan syariah-Nya ini semata-mata sebagai rahmatan lil˜alamin. Paradigma seputar wahyu ini juga tidak menghilangkan peran akal dan nalar manusia.Sebagaimana yang sering dikhawatirkan sebahagian orang. Akal dilibatkan oleh Allah dalam bidang ruang dan waktu yang mampuh dijangkaunya. Yaitu bidang kreasi, inovasi dan rekayasa pengembangan hidup manusia dalam bingkai aqidah dan syariah-Nya. Bukan bidang supernatural yang transendental metafisikKarena jangkauan imajinasi -daya khayal- manusia selalu berkisar pada analogi apa yang ghaib dengan apa yang pernah dilihat dan dialaminya. Ini tidak cukup untuk menjangkau wilayah hakikat keghaiban. Jika dipaksakan maka kebenaran alam ghaib ini akan tergambar pada simbolisme. Seperti patung-patung ketuhanan yang kita lihat dalam agama lain. Oleh karena itu Rasulullah melarang ummatnya memikirkan tentang Zat Allah dan membuka dengan seluas-luasnya untuk memikirkan makhluk-Nya.[7] 

.

PENUTUP

 

 KESIMPULAN

Akidah Islam adalah prinsip utama dalam pemikiran Islami yang dapat membina setiap individu muslim sehingga memandang alam semesta dan kehidupan dengan kaca mata tauhid dan melahirkan konotasi-konotasi valid baginya yang merefleksikan persfektif Islam mengenai berbagai dimensi kehidupan serta menumbuhkan perasaan-perasaan yang murni dalam dirinya.

Atas dasar ini, akidah mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu menciptakan mu’jizat dan merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman permulaan Islam. Demi membina setiap individu muslim, perlu kiranya kita mengingatkannya tentang sumbangsih-sumbangsih akidah yang telah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya dan meyakinkannya akan validitas akidah itu dalam setiap zaman dan keselarasannya dengan segala era.

DAFTAR PUSTAKA

 

1.http://daffodilmuslimah.multiply.com/journal/item/156/Aqidah Islam DasarPembentuk Kepribadian

2. Makalah Arif Ma'ruf, Lc.( Dosen Aqidah STID Dirosat Islamiyah Al-Hikmah Jakarta

3. Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul

    Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H

4. http://assunnahsurabaya.wordpress.com/2008/07/31/makna-dan-peran-aqidah-dalam-islam/

5. http://stie-wp.blogspot.com/2009/10/hubungan-aqidah-dan-ibadah.html

            





[1] http://daffodilmuslimah.multiply.com/journal/item/156/_Aqidah_Islam_Dasar_Pembentuk_Kepribadian


[2] Lihat makalah Arif Ma'ruf, Lc.( Dosen Aqidah STID Dirosat Islamiyah Al-Hikmah Jakarta )


[3] Lihat Fiqhul Akbar, Imam Syafi’i hal. 16


[4] Lihat makalah Arif Ma'ruf, Lc.( Dosen Aqidah STID Dirosat Islamiyah Al-Hikmah Jakarta )


[5] (Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul

Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H, hal 7-9)


[6] http://assunnahsurabaya.wordpress.com/2008/07/31/makna-dan-peran-aqidah-dalam-islam/


[7] http://daffodilmuslimah.multiply.com/journal/item/156/_Aqidah_Islam_Dasar_Pembentuk_Kepribadian




Leave a Reply.