Pendahuluan

Islam adalah dien yang sempurna dan ditasbihkan menjadi sebuah agama yang rahmatan lil ‘alamiin. Kesempurnaan tersebut ditopang oleh pedoman hidup bagi penganutnya yang secara langsung mendapatkan jaminan keontetikan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala sampai akhir jaman. Jaminan kesempurnaan juga diberikan oleh Muhammad Shalallaahu alaihi wassalam yang berperan sebagai nabi penyampai risalah dengan sifat shidiq, amanah, fathanah, dan tabligh yang senantiasa melekat pada dirinya, sehingga melalui beliau, Islam menjadi 
sebuah ajaran yang jelas, gamblang, dan mudah untuk dipahami.

Selain itu Islam dibangun oleh kekuatan aqidah yang merupakan pondasi dasar untuk penopang berdirinya syariat . Syariat merupakan aturan-aturan yang tercakup di dalamnya ibadah, muamalah, dan akhlaq, bersifat mengikat bagi setiap manusia yang telah menyatakan keimanannya dengan aqidah Islam. Maka memurnikan aqidah menjadi konsekuensi logis dan keniscayaan mutlak untuk terwujudnya penerapan syariat Islam dengan sebenar-benarnya, yang akan membentuk pribadi berkarakter sekaligus menjadi cikal peradaban yang agung. Hal ini terbukti perjalanan Islam yang sampai sekarang mendekati usia 15 abad telah memunculkan berbagai inspirasi peradaban dunia. Meskipun berbagai sebab kemudian menjadikan pasang surut kejayaan yang senantiasa menghiasi setiap perguliran peradaban.

Hikmah dari perguliran masa kejayaan peradaban Islam tersebut dapat menambah wacana dan khasanah pembelajaran terutama dalam sejarah peradaban Islam. Seperti halnya adalah masalah banyak bermunculannya kelompok/sekte dalam Islam yang mencerminkan perbedaan cara pandang dan cara paham terhadap Islam yang notabene memiliki sumber dan dasar hukum yang satu.

Makalah ini akan mencoba membahas pada teologi muktazilah yang sedikit banyak berpengaruh pada aswaja.

Pembahasan

Teologi Muktazilah

A. Pokok Teologi Muktazilah (Al-ushul al-Khamsah)

Sekilas istilah ushul al-khamsah tampak jelas, namun jika kita perhatikan lebih lanjut maka banyak tanda tanya besar yang perlu dijawab. Bagaimana sebenarnya Washil bin Atha' meletakkan dasar-dasar yang lima ini. Bahkan Dr. Nassyar mengatakan bahwa tidak ditemukan indikasi yang jelas bahwa Washil juga Amr bin Ubaid, sahabatnya, menggunakan istilah ini. Yang jelas istilah al-ushul al-khamsah ini muncul di Bashrah, sebagai kota kelahiran sekte ini. Hal ini diketahui dari cerita Bisyr bin Mu'tamar (w. 210-226 H) dan Abu Utsman yang datang dari Baghdad untuk menimba pokok-pokok aliran dan lima konsep di atas.[1] Namun apakah konsep tersebut muncul secara serempak ataukah melalui proses pendewasaan. Pertanyaan itulah yang akan kita cari jawabannya.

Ternyata Abu al-Hudzail al-Allaf diketahui sebagai sosok penjelas dari ushul al-khamsah ini. Mungkin inilah yang mengilhami Watt untuk menyimpulkan bahwa al-Hudzail adalah peletak konsep dasar Muktazilah. Kemudian paska al-Hudzail, Abu al-Qasim al-Rassi juga memiliki kitab tentang ushul al-khamsah, sama halnya dengan Ja'far al-Harb yang lalu dipungkasi oleh al-Qadhi Abdul Jabbar sebagai pemegang konsep paripurna dari al-ushul al-khamsah, lewat karangannya Syarhu al-ushul al-khamsah. Dari paparan ini tentu kita dapat menyimpulkan bahwa al-ushul al-khamsah adalah konsep yang berevolusi. Hal itu dapat dibuktikan bahwa konsep pertama yang muncul adalah al-manzilah bayna al-manzilatain, kemudian berkembang seiring dengan gesekan sosial yang terjadi saat itu.[2]

Al-ushul al-khamsah menduduki posisi penting dalam sekte rasionalis ini. Seperti yang dikutip oleh al-Malathi bahwa Muktazilah terpecah menjadi  “kurang lebih- dua puluh sempalan kecil. Oleh karena itu diperlukan semacam pemersatu yang disepakati. Dr. Nassyar menyatakan bahwa kelima ushul itu memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada satu ushul pun yang lebih tinggi dari yang lain. Namun, searah dengan indikasi akan adanya evolusi dalam al-ushul al-khamsah itu, muncul pula karaguan akan otentitas sang ushul. Apakah ia adalah ushul seperti yang diusung oleh al-Hudzail atau bukan. Paling tidak indikasi inilah yang dibawa oleh al-Mas'udi, al-Khayyath dan al-Asy'ari. Dari berbagai riwayat ditemukan bahwa al-ushul al-khamsah ternyata terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara konsep paripurna al-ushul al-khamsah dengan riwayat-riwayat tersebut.

Dalam riwayat al-Rassi  “ia semasa dengan al-Hudzail- ditemukan perbedaan yaitu pada pokok keempat. Disebutkan bahwa al-Qur'an adalah suatu ketetapan yang tidak dapat diperdebatkan lagi. Sedangkan dalam riwayat Ibn Hazm terdapat pokok-pokok lain seperti; al-Qur'an adalah makhluk dan menolak ru'yah. Bahkan Abu al-Qasim al-Balkhi (w. 319 H) menyatakan bahwa istilah al-ushul al-khamsah awalnya tidak dikenal tidak dikalangan Muktazilah. Yang mereka gunakan hanyalah kata ijma'. Apapun yang terjadi dengan istilah ini, ada hal lain yang perlu kita ingat. Yaitu, bahwa pada awalnya al-ushul al-khamsah muncul sebagai sebuah wacana politik keagamaan, yang berusaha diinterpretasikan oleh penggagas Muktazilah “Washil-, dengan tetap mempertimbangan teks “al-Qur'an dan Sunnah-. Namun munculnya para filsuf “al-Hudzail dkk.- dalam sekte ini merubah paradigma Muktazilah ke arah rasionalitas an sich. Oleh karena itu lima pokok-pokok Muktazilah ini tentu memiliki makna filosofisnya tersendiri, di mana pematangan konsep ini berada di pangkuan al-Hudzail.[3]

1. Tauhid; Mengintip Alam Metafisik

Salah satu upaya gigih Muktazilah adalah mempertahankan pendapat mereka tentang keesaan Tuhan. Usaha ini dilakukan untuk menghempaskan pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan sama dengan makhluk dan memiliki sifat-sifat semisalnya, seperti yang dilakukan Mujassimah, Ghanasiah, Yahudi dan Kristen.[4] Menurut Muktazilah Tuhan adalah Esa, Ia tidak berbentuk, tidak pula sama dengan semua makhluk dan sifat-sifatnya. Tidak ada satupun yang menyerupainya, Ia qidam (dahulu) dan Maha Awwal. Sehingga Tuhan  “menurut mereka- tidak memiliki sifat-sifat. Karena keberadaan sifat menandakan kebaruan. Peniadaan akan adanya sifat-sifat Tuhan ini, menguras banyak perdebatan terutama dengan Asy'ariah yang muncul selanjutnya. Sejujurnya permasalahan ini adalah persoalan yang belum terpikirkan oleh generasi awal Islam. Bahkan para salaf menyatakan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat azali seperti yang ada dalam al-Qur'an, sebagaimana pemahaman Ibn Hanbal. Namun Ibn Hazm menolak kesan itu, menurutnya nama-nama Tuhan yang ada dalam al-Qur'an tidak berarti bahw Tuhan memiliki sifat-sifat tertentu. Masih menurutnya, perbincangan seputar sifat adalah hasil rekayasa Muktazilah. Dan ditemukan bahwa orang pertama yang berbicara tentang sifat adalah al-Ja'd bin Dirham. Kemudian diilhami oleh Washil dengan statemennya, siapa yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat maka ia telah meyakini adanya dua tuhan.

Dari pemikiran sederhana Washil bin Atha' ini, berkembanglah konsep tauhid Muktazilah dengan ciri khasnya sendiri. Apalagi kecenderungan Muktazilah terhadap filsafat yang besar, semakin membuka ruang debat bagi banyak kalangan, terutama dalam lingkup sekte itu. Karena itulah, seperti yang dikatakan al-Ghazali dalam al-Munqidz bahwa Muktazilah telah terpengaruh oleh para fulsuf Yunani dalam masalah sifat ini. Menurut mereka Tuhan Maha Tahu, Maha Hidup, Maha Kuasa tetapi tidak dengan sifat hidup, tahu dan kuasa yang terpisah dari Dzat Tuhan. Karena menurut al-Khayyath, jika Tuhan memiliki sifat Maha Tahu, maka sifat itu -bisa jadi- baru dan mungkin juga qidam. Jika baru maka itu bertentangan dengan dzat Tuhan yang Qidam. Dan jika sifat itu qidam, maka akan terdapat dua qidam yaitu, Dzat Tuhan itu sendiri dan sifatnya. Padahal kesimpulan tentang adanya dua wujud yang qidam akan berujung pada eksistensi dua tuhan dan itu tidak mungkin. Al-Syarhestani juga menegasakan bahwa Muktazilah tidak mengingkari adanya sifat yang menyatu dengan mausufnya. Tetapi lebih kepada sifat yang berada di luar mausuf itu.[5]

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, sebenarnya pembahasan soal dzat dan sifatnya serta hubungan antara kedua adalah wacana umum. Para filsuf Yunani, teolog Yahudi dan Kristen  “Ghilan al-Dimasyq, Agoustine, Thimas Aquinas- juga sibuk dalam perdebatan itu. Bahkan dalam sekte Muktazilah sendiripun terjadi persengketaan. Ada yang menolak secara mutlak seperti Washil bin 'Atha, ada pula yang menerimanya sebagai satu kesatuan dengan dzat semisal al-Hudzail dan adapula yang menerima dengan memposisikannya sebagai substansi yang tidak berwujud seperti Mu'ammar dan Abu Hasyim al-Jubbai'. Dari konsep tauhid semacam ini muncul konsep-konsep baru seperti: al-Qur'an adalah makhluk, ru'yah, ta'wil lafadz wajah, tangan dll. Semuanya “oleh Muktazilah- dikuatkan dengan logika-logika rasio, bahkan “terkadang- dalil-dalil al-Qur'an dan sunnah juga mereka gunakan. Hal ini mengingat munculnya pendatang baru yang gencar mengkritik pola fikir Muktazilah, yang tak lain adalah al-Asy'ari, seorang murid dari Abu Ali al-Jubbai', yang juga ayahnya.

2. Al-Manzilah Bayna al-Manzilatain; Peneguhan Iman

Prinsip ini disinyalir banyak kalangan sebagai awal dari munculnya Muktazilah. Pada dasarnya konsep ini sangatlah sederhana. Bahwa pelaku dosa besar tidak tergolong kafir dan juga tidak mukmin. Mereka menduduki posisi ketiga yaitu fasiq.[6] Konsep seperti ini, tergolong konsep baru dalam kancah pemikiran Islam. Tetapi bukan berarti Islam lepas dari konsep ini. Terbukti bahwa Muktazilah “pada dasarnya- mencontek al-manzilah bayna al-manzilatain ini dari al-Qur'an dan Sunnah, yang selalu menganjurkan untuk mengambil jalan tengah. Selain itu kemungkinan lain juga mengindikasikan akan adanya pengaruh Hasan al-Bashri dalam diri Washil, khususnya yang berhubungan dengan konsep ini.[7] Penemuan-penemuan lain juga mengisyaratkan bahwa pengaruh Aristoteles juga dominan. Aristo memiliki konsep 'tengah' ini seperti yang ditulis Miskawaih dalam Tahdzib al-Akhlaq. Konsep serupa juga diimani oleh Platonis yang menyatakan bahwa di antara baik dan buruk terdapat posisi yang menengahinya.[8]

Bagaimanapun juga dari konsep ini, Muktazilah kembali melahirkan konsep-konsep baru, utamanya yang berhubungan dengan falsafah etis. Sehingga dalam setiap hal “terutama yang bertentangan- sikap yang harus diambil adalah sikap tengah pihak ketiga. Karena itulah dalam menyelasaikan setiap problematika sosial, teologi dan politik yang terjadi, Muktazilah selalu menempati posisi tengah di antara dua sisi ekstrim. Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa perdebatan soal iman antara Khawarij dan Murji'ah juga menjadi motivasi tersendiri atas munculnya konsep tengah Muktazilah ini.[9]

3. Keadilan; Antara Otoritas Tuhan dan Independensi Manusia

Konsep inilah yang menyebabkan Muktazilah dikenal dengan sebutan Ahlu a-Adli. Konsep keadilan Tuhan ini muncul ditengah perbincangan seputar qadar atau ketentuan Tuhan. Sebenarnya permasalahan ini sudah muncul sejak lama, bahkan sejak lahirnya manusia. Konsep yang membahas tentang hubungan Tuhan dan manusia ini  “juga- telah ramai diperbincangkan baik dikalangan Islam ataupun non Islam. Dalam Islam kita kenal Qadariah dengan kebebasannya. Damun jika kita lacak, darimanakah konsep seperti ini mulai dikenal oleh masyarakat Islam Fenomena Qodariah dan fahamnya  “mungkin- akan membantu kita menemukan sumber itu.[10] Seorang orientalis, Von Kremer mengatakan bahwa Qadariah menjiplak konsep ini dari teologi Kristen. Hal ini mengingat  “pada masa itu- Kristen (Gereja) sedang bersemangat, asik dan masuk dalam terma-terma kebebasan manusia. Nah, ketika Syam  “sebagai bekas kekuasan Kristen- berhasil ditaklukkan oleh Islam maka tak pelak lagi konsep-konsep teologi merekapun ikut dalam proses asimilasi budaya. Demikan pula dengan Mc Donald yang menyatakan hal yang sama seperti yang dikatakan Kremer. Namun Mc Donald menemukan sebuah paradoks. Menurutnya inti dari konsep qadar ini adalah bagaimana memaksimalkan akal manusia dan memaksanya untuk terus berfikir. Tetapi jika kita telusuri lebih lanjut, tradisi yang berkembang di Arab justru fatalis dan bukan qadariah. Artinya nalar bangsa Arab  “sebenarnya- lebih cenderung fatalis. Oleh karena itu fenomena munculnya sekte Qadariah merupakan fenomena langka  “jika kita telusuri- secara antropologis. Lepas dari itu semua, dalam paragrap berikut kita akan menelisik bagaimana sebenarnya konsep keadilan yang diusung Muktazilah.[11]

Menurut Muktazilah, manusia adalah makhluk bebas. Ia dapat melakukan apa saja sesuai dengan kehendak dan kemampuannya. Mereka meyakini bahwa Tuhan tidak melakukan intervensi apapun kepada manusia. Semua kalangan Muktazilah hampir sepakat akan pendapat ini, kecuali Mu'ammar dan Jahidz. Keduanya meski menyakini bahwa manusia memiliki kebebasan, namun perbuatan yang dilakukan manusia merupakan rekayasa alam natural, karena manusia hanya memiliki kemauan. Muktazilah juga meyakini bahwa Tuhan mengetahui segala perbuatan manusia dan semua kemampuan yang dimiliki manusia adalah dari Tuhan. Namun Muktazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua. Pertama adalah perbuatan yang ikhtiari dan yang kedua sebaliknya. Jika perbuatan itu ikhtiari atas kehendak manusia maka, Tuhan akan memberikan kemampuan saat ia melakukannya. Dan jika perbuatan itu tanpa adanya kemauan dari manusia maka perbuatan itu disebut sebagai sebuah akibat saja.[12]

Konsep keadilan ini sejatinya sangat berhubungan dengan tanggungjawab manusia. Artinya perbuatan  “baik atau buruk- yang dilakukan manusia harus dikembalikan kepada manusia pula. Oleh karena itu jika diyakini bahwa Tuhan yang menciptakan tingkah polah manusia maka, jika perbuatan itu jahat berarti Tuhan telah melakukan kejahatan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Tuhan adalah sumber kebaikan, dan Ia tidak menciptakan apapun kecuali demi kebaikan. Jika demikian adanya, berarti konsep keadilan ini merupakan terusan dan konsep tauhid Muktazilah seperti yang telah kita kunyah sebelumnya. Ada tiga motivasi yang menghantarkan Muktazilah berpendapat demikian. (1) penafsiran terhadap taklif, janji dan ancaman. Menurut mereka jika Tuhan yang menciptkan perbuatan manusia maka, apakah fungsi pembebanan-pembebanan agama Lalu apa fungsi janji dan ancaman Tuhan. Bagaimana Tuhan akan menghisab manusia, sedang ia tidak melakukan apa-apa. (2) diutusnya rasul. Jika Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia maka, apakah fungsi diutusnya seorang rasul. (3) mensucikan Tuhan dari perbuatan keji. Bagaimana mungkin Tuhan menciptkan perbuatan manusia untuk kemudian Dia akan menyiksanya jika perbuatan itu keji. Tuhan adalah maha sempurna. Jika kita mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan perbuatan jahat yang dilakukan manusia maka berarti kita telah mengaggap Tuhan talah melakukan kejahatan itu. Dan itu adalah mustahil.[13]

4. Amar Ma'ruf Nahi Munkar; Tanggung Jawab Politik

Konsep ini memiliki relevansi yang kuat terhdap etika politik. Hampir semua kalangan Muktazilah sepakat akan prinsip ini kecuali al-'Asham seperti yang dikutip al-Asy'ari dan juga al-Mas'udi. Menurut mereka setiap muslim berkewajiban untuk amar ma'ruf nahi munkar, baik dalam bentuk jihad, lisan maupun yang lain. Dalam komentarnya Dr. Ali Syami Nassar mengatakan bahwa konsep ini adalah murni konsep politik. Namun Muktazilah membungkusnya dengan istilah agama dan term al-Qur'an. Tujuan dari konsep ini adalah untuk menciptakan kebebasan politik bagi rakyat. Revolusi adalah sah jika penguasa berbuat sewenang-wenang. Namun pada realitasnya konsep ini mempunyai implikasi negatif yang membahayakan. Lewat konsep ini pula peristiwa-peristiwa seperti mihnah Ibn Hanbal dll. terjadi. Bahkan dari konsep ini pula akhirnya Muktazilah tergelincir dalam kubangan politik yang menyebabkan hilangnya kridebilitas sekte di hadapan khalayak. Semua itu disebabkan oleh subyektifitas dalam menentukan mana yang ma'ruf dan mana yang munkar.

5. Janji dan Ancaman; Menentukan Posisi Akal

Janji dalam pengertian Muktazilah, sebagaimana yang dikatakan Qadhi Abd. Jabbar adalah setiap informasi yang mengandung kebaikan. Sedangkan ancaman adalah setiap informasi yang bersifat intimidatif. Menurut Qadhi, Tuhan telah berjanji kepada mereka yang ta'at untuk memberikan pahala dan siksa bagi mereka yang maksiat. Tuhan pasti akan memenuhi janji dan ancamannya. Dia tidak khianat juga tidak dusta.[14] Al-Syarhestani menyatakan bahwa menurut Muktazilah, setiap mu'min yang meniggal dunia dalam keadaan ta'at maka ia akan mendapat pahala. Sedang para pendosa yang tidak bertobat, maka ia akan mendapat siksa namun siksanya akan lebih ringan karena ia tidak tergolong kafir. Berbeda dengan Ahlussunnah, yang menyatakan bahwa kalam Tuhan adalah azali, Dia berjanji atas apa yang diperntahkanNya dan Dia telah memberi ancaman bersamaan dengan laranganNya. Siapa yang selamat maka ia akan mendapat pahala sebab janjiNya, dan siapa yang celaka akan mendapat siksa sesuai dengan ancamanNya. Selaras dengan pandangan Ahlussunnah ini, kuasa manusia benar-benar takluk pada kuasa Tuhan. Pahala dan siksa adalah dua hal yang telah ditentukan oleh Tuhan, akal tidak dapat menjangkau dan mengaksesnya. Adapun menurut Muktazilah, pahala dan siksa memiliki pertuatan yang kuat dengan perbuatan manusia. Yaitu perbuatan yang baik dan buruknya ditentukan oleh akal. Jadi akal menduduki posisi penting dalam metode berfikir Muktazilah. Menurut mereka segala sesuatu dapat diindera dengan akal. Dan keberadaan kitab suci ataupun rasul hanyalah sebagai legitimasi akan kebenaran-kebenaran yang ditetapkan akal. Oleh karena itu dengan kopnsep janji dan ancaman ini Muktazilah, berusaha memantapkan posisi akal sebagai pemandu sentral dalam semua dimensi kehidupan.[15]

Demikianlah konsep umum dari Muktazilah, adapun konsep-konsep detilnya dapat kita telusuri lewat pandangan tokoh-tokoh kelompok ini. Namun keterbatasan makalah ini adalah ketidakmampuannya dalam menyajikan hal tersebut. Tetapi penulis yakin bahwa kelima pokok di atas sudah cukup mewakili pemikiran makro Muktazilah. Dalam pembahasan berikut  “sebenarnya- penulis berkeinginan untuk memberikan deskripsi tentang pergulatan Muktazilah dengan politik. Hal ini penting sehubungan dengan sejauh mana konsistensi Muktazilah dalam mempertahankan prinsip-prinsip pemikirannya. Untuk kemudian penulis juga ingin memaparkan kondisi Muktazilah ketika Ia dalam keadaan lemah terutama paska runtuhnya rezim al-Mutawakkil. Hal juga urgen mengingat kondisi lunglai yang dialami Muktazilah ini berhasil melahirkan gerakan-gerakan counter attack yang dahsyat. Akan tetapi elaborasi tersebut  “sepertinya- hanyalah impian yang belum dapat terwujud. Oleh karena itu penulis akan langsung melompat pada pembahasan pamungkas makalah ini. Yaitu mengetahui sejauh mana pengaruh Muktazilah pada pemikiran Islam secara umum, dan pengaruhnya pada rangka pikir Asy'ariah “sebagai anak bungsu- dalam skala yang lebih khusus.

B. Pengaruh Muktazilah dalam Pemikiran Islam

Semakin tinggi anda terbang maka akan semakin sakit jika anda jatuh. Kata-kata tersebut mungkin tepat untuk menggambarkan Muktazilah dan perjalanan pemikirannya. Sebagai pembawa ide kebebasan berfikir yang tidak diimbangi oleh pemahaman yang pas oleh masyarakatnya, Muktazilah selalu mendapat tekanan. Julukan zindiq bahkan kafir bukan lagi hal yang asing. Hal inilah yang menyebabkan Muktazilah kehilangan popularitasnya, hingga benar-benar lenyap ditelan bumi. Namun demikian bukan berarti Muktazilah tidak mewariskan apa-apa bagi generasi selanjutnya. Paling tidak perjalanan pemikiran yang panjang, yang telah mereka lalui menyisakan pesan-pesan positif yang mungkin untuk kita ilhami secara wajar.

Seperti kita ketahui, Muktazilah hidup di tengah-tengah tradisi pemikiran Ahlussunnah. Muktazilah juga memiliki kepedulian yang tinggi untuk terus mempertahankan Islam. Namun pengaruh filsafat Yunani “mungkin- menjadi ciri yang membedakan Muktazilah dengan sekte-sekte zamannya. Oleh karena itu ciri yang berbeda ini, seyogyanya tidak menggiring kita melupakan 'niat baik' Muktazilah ini. Kondisi sosial dan struktur masyarakat yang hiterogen, proses asimilasi budaya yang terus terjadi, telah mendorong Muktazilah untuk turut gandrung pada filsafat. Mempelajari filsafat -saat itu- merupakan sebuah keharusan, demikian H.S. Nyberg 'mendukung' Muktazilah. Sehingga beberapa sisi ekstrim dari pola pikir Muktazilah tidaklah menyebabkan kita terjebak dalam pengkafiran. Al-Ghazali, mengatakan bahwa pengkafiran adalah perbuatan yang melanggar etika kita. Karena benar dan salah dalam sebuah ijtihad adalah hal yang wajar.

Para pemikir yang hidup pasca Muktazilah sendiri tidak sejajar dalam melihat sekte ini. Hanabilah, Dzahiriah dan al-Baghdadi (Asy'ariah) benar-benar telah mengambil jarak dengan aliran ini. Berbeda dengan al-Asy'ari, al-Ghazali, al-Syarhestani yang memberikan apresiasi kepada Muktazilah. Bahkan al-Maqdasi menyatakan bahwa Muktazilah adalah sekte yang ridak keluar dari bingkai Ahlussunnah. Seperti yang kita ketahui bahwa pergaulan Muktazilah dengan filsafat telah merubah pola pandang Muktazilah, terutama tentang posisi akal dan wahyu. Akal yang sebelumnya hanya berperan sebagai pendukung nash, maka sejak pergaulan itu akal telah 'menginjak' kepala nash. Akal adalah segalanya dan nash hanyalah nomor dua. Nah, dari pergulatan panjang yang dialami Muktazilah ini, mulai dari lahir, jaya hingga runtuhnya ternyata, pemikiran-pemikiran barupun muncul. Yang menarik gerakan-gerakan baru itu memiliki satu semangat yang sama yaitu, melakukan kompromi-kompromi pemikiran antara pola Ahlussunnah dan Muktazilah. Itulah yang dilakukan oleh al-Asy'ari di Bashrah, al-Thahawi di Mesir dan al-Maturidi di Samarkand. Disamping itu lahir pula gerakan-gerakan skripturalis sebagai penolakan atas Muktazilah yang diwakili oleh dua aliran besar. Yang pertama adalah Karramiah, pengikut Muhammad bin Karram al-Sajestani (356 H.) dan yang kedua al-Dzahiriah, sebuah mazdhab fikih yang didirikan di Iraq oleh Daud bin Ali al-Asfihani (370 H.).

Yang paling menarik dari gerakan-gerakan di atas adalah al-Asy'ari. Al-Asy'ari berusaha membangun kembali reruntuhan pemikiran Muktazilah dengan kemasan yang lebih halus, yang dapat diterima oleh khalayak. Pola interaksi antara akal dan wahyu di tangan al-Asy'ari berusaha dikembalikan pada posisi yang seimbang, dengan tetap menjadikan wahyu sebagai dasar. Wahyu adalah benar dan hanya akal yang dapat mengendus kebenaran itu, demikian al-Ghazali menegaskan. Selain itu al-Asy'ari juga berusaha untuk meneruskan estafet pemikiran Muktazilah dengan mencoba mempertemukan agama dan filsafat. Al-Asy'ari berupaya untuk membersihkan dampak negatif dari filsafat dan tetap mempertahankan nilai positifnya. Ilmu kalam seperti definisi al-Ghazali adalah usaha untuk mempertahankan nilai-nilai akidah agama dengan menggunakan hujjah akal yang kuat. Itu artinya al-Asy'ari dalam menyusun madzhab barunya benar-benar tidak dapat lepas dari pengaruh Muktazilah. Ibn al-Jauzi mengatakan bahwa al-Asy'ari tetap seorang Muktazilah. Itulah sebabnya mengapa kelompok Salafi menolak pemikiran al-Asy'ari. Hal senada juga ditegaskan Ibn Taimiah sebagai tokoh salafi. Menurutnya nuansa al-Jubba'i masih begitu kental dal sosok al-Asy'ari. Bahkan dalam permasalahan metafisik dan akhlaq al-Asy'ari juga terpengaruh oleh Muktazilah, Qadariah dan Jahmiah. Oleh karena itu, tidak lengkap kiranya jika kita tidak menyertakan dugaan-dugaan itu dengan bentuk konkrit.

Dalam beberapa hal seperti permasalahan sifat-sifat, ayat-ayat tasyhbih dan tajsim, al-Kasb hingga permasalah kalam Tuhan, Asyari'ah benar-benar terpengaruh Muktazilah. Asy'ariah selalu mengambil posisi tengah antara ekstrim kanan (salaf) dan ekstrim kiri (Muktazilah). Sehingga penulis sepakat dengan Dz. Zuhdi H. Jarullah yang menemukan indikasi bahwa konsep al-manzilah bayna al-manzilatain juga menjadi inspirasi tersendiri bagi Asy\'ariah. Bahwa diantara hitam dan putim masih ada abu-abu dan diantara biru dan hijau masih ada kelabu.

Oleh karena itu, senada dengan Dr. Zuhdi penulis juga percaya bahwa ruh dan semangat Muktazilah layak untuk diperhatikan pada masa modern ini. Di hadapan arus budaya dan pemikiran Barat yang terus menerpa umat Islam, konsep tengah merupakan solusi. Nilai-nilai positif harus kita lihat secara cermat untuk membimbing kita keluar dari pengaruh nilai-nilai negatif. Sebagaimana Muktazilah yang hidup di tengah budaya Yunani dengan filsafatnya, Kristen dengan teologinya, Persia dengan Zoroasternya. Dengan tetap memegang prinsip-prinsip luhur agama serta niat yang tulus dalam membela agama, akhirnya Muktazilah berhasil menanamkan kepercayaan dalam diri umat Islam, bahwa Islam adalah agama yang terbuka, egaliter. Bukan hanya itu, pergaulan yang sehat dengan budaya-budaya lain tersebut juga telah melahirkan budaya kritis serta bebas. Bukankah keberhasilan Eropa adalah berkat sikap kritis atas orotitas gereja. Maka Islam sebagai risalah ilahiah, sudah saatnya untuk membuktikan pada dunia bahwa ia benar-benar sebuah rahmat bagi alam[16]. Wa Allahu 'lam.

Penutup

Simpulan makalah Perselisihan antara Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah terangkum dalam point-point sebagai berikut:

1. Islam terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan merupakan kenyataan berdasarkan fakta dan nash. Diantara kesemuanya hanya 1 (satu) yang selamat, yaitu: Ahlu Sunnah dan yang lainnya masuk neraka sebagai ahlu bid’ah, dan ini berbeda hukumnya dengan kafir yang kekal selamanya di dalam neraka.

2. Ahlu Sunnah Wa al Jamaah sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, memiliki nama lain Firqat an Najiyah, Thaifah al Mansyurah, Al Ghuraba, dan dalam wacana orientalisme sering disebut dengan Islam Ortodoks. Kelompok ini memiliki komitmen pada kebenaran dan kemurnian ajaran Islam sebagaimana yang dipraktikkan salaf al ummah, yaitu: Rasul Shalallaahu alaihi wa salam, Shahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in, serta yang orang istiqamah mengikuti mereka sampai hari qiamat.

3. Nama Ahlu Sunnah Wa al Jamaah senantiasa melekat pada individu/kelompok yang senantiasa memiliki komitmen pada kebenaran/kemurnian ajaran Islam. Al Jamaah sendiri berarti orang yang senantiasa komitmen pada kebenaran, meskipun sendirian. Nama ini merupakan nama syari’i yang tidak bisa berdasarkan klaim atau sekadar pengakuan belaka.

4. Kebalikan dari Ahlu Sunnah Wa al Jamaah adalah Ahlu Bid’ah Wa al Firqah, yang berarti individu/kelompok yang menyelisihi jalan lurus ajaran Islam yang telah diajarkan oleh salaf al ummah. Ahlu Bid’ah diancam di Akhirat dengan neraka tetapi tidak kekal di dalamnya, selama kebid’ahan yang dilakukannya tidak sampai pada tingkat kekufuran.

5. Salah satu firqah yang termasuk golongan ahlu bid’ah adalah mu’tazilah, kelompok yang dikenal dengan aqlaniyyun, pendewa akal. Mu’tazilah dinisbahkan pada peristiwa menyingkirnya Washil ibn Atha’ Al Ghazaly dari majelis Hasan Al Bashri, yang kemudian dianggap sebagai pendiri firqah. Firqah ini pernah menjadi aliran resmi negara pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, yaitu pada masa Khalifah Al Makmun, Al Muthasim, dan Al Watiq (ada yang menyebut Al Watsiq).

6. Titik perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah terdapat pada 5 (lima) hal pokok, yang sekaligus merupakan ushul al khomsyah mu’tazilah, yaitu: Tauhid, Al Adil, Al Wa’ad Wal Waid, Al Manzilah baynal Manzilatain, dan Al Amru bil Ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar. Perselisihan yang lain nampak dalam masalah hadits, mu’tazilah menolak menggunakan hadits ahad untuk hujjah masalah aqidah karena menurut mereka berstatus dzan.

Daftar Pustaka

1.      Prof. Zuhdi Hasan Jarullah, al-Muktazilah, Maktabah Azhariah li Turats, Kairo, 2002.
Henry Laoust, Essai Sur Les Doctrines Sociales Et Politiques De Taki -D- Din Ahmad B. Taimiya, Darul Anshar, Kairo 1939. Dialih bahasakan oleh M. Abd. Adhim Ali. Kata pengantar dan komentar oleh Dr. Musthafa Hilmi.

2.      http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Muktazilah2.html

3.      Asy Syahrastani, “Al Milal Wa Al Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam”, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2006

4.      Afghan, Ali Masduki dan Munis, Syaifudin, “Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi”, LKIS, Yogyakarta, 2000

5.      Al Bayanuni, Muhammad Abu Al Fatah, “Islam Warna-Warni: Tradisi Beda Pendapat dalam Islam”, diterjemahkan oleh Razaq dan Usman, Hikmah, Bandung, 2003.

6.      Al Atsari, Abu Nuaim, “I’tiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah (KH. Siradjudin Abbas)”, Majalah Al Furqon Edisi 7 Tahun V, 2006 ISSN: 1693-8755.

Al Bayanuni, Muhammad Abu Al Fatah, “Islam Warna-Warni: Tradisi Beda Pendapat dalam Islam”, diterjemahkan oleh Razaq dan Usman, Hikmah, Bandung, 20

[1] Prof. Zuhdi Hasan Jarullah, al-Muktazilah, Maktabah Azhariah li Turats, Kairo, 2002, hal 22.


[2] Ibid, hal 23


[3] Ibid, hal 25-32


[4] Asy Syahrastani, “Al Milal Wa Al Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam”, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2006, hal 11


[5] Prof. Zuhdi Hasan Jarullah,op.cit, hal 39-40


[6] Ibid, hal 43


[7] Afghan, Ali Masduki dan Munis, Syaifudin, “Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi”, LKIS, Yogyakarta, 2000, hal 69


[8] Asy Syahrastani, “Al Milal Wa Al Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam”, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2006, hal 17


[9] Al Bayanuni, Muhammad Abu Al Fatah, “Islam Warna-Warni: Tradisi Beda Pendapat dalam Islam”, diterjemahkan oleh Razaq dan Usman, Hikmah, Bandung, 2003, hal 56


[10] Prof. Zuhdi Hasan Jarullah,op.cit, hal 44


[11] Al Bayanuni, Muhammad Abu Al Fatah, op.cit, hal 59


[12] Prof. Zuhdi Hasan Jarullah,op.cit, hal 46


[13] Asy Syahrastani, op.cit, hal 20


[14] Prof. Zuhdi Hasan Jarullah,op.cit, hal 48


[15] Asy Syahrastani, op.cit, hal 23-27


[16] Afghan, op.cit, hal 112-119




Leave a Reply.