Bab I

Pendahuluan

AHLUS SUNNAH WALJAMAAH dan berbagai penyimpangan aqidah yang terjadi ditengah-tengah umat ini, akan dapat memperkokoh aqidah AHLUS SUNNAH WALJAMAAH serta menghindarkan diri dari segala bentuk ajaran yang menyesatkan. Berkata para ulama :

"Barang siapa yang tidak mengetahui suatu keburukan, maka dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalamnya".

Sedangkan di dalam aqidah umat Islam yang ahli sunnah wal jamaah ini, mungkin saja ada perbedaan teknis dalam masalah tata cara ibadah. Perbedaan ini sangat logis, wajar dan
mungkin terjadi. Bahkan sudah terjadi sejak nabi Muhammad SAW masih hidup di antara para shahabatnya.

Untuk itu lalu para ulama membuat metologi dalam memahami nash Quran dan Sunnah serta membuatkan 'jalan' bagi mereka yang ingin mendapatkan kesimpulan hukum dari sumber-sumber ajaran Islam itu. Jalan inilah yang kita sebut dengan mazhab fiqih. Adapaun bila metodologi yang berkembang berbeda-beda, adalah hal yang amat wajar sekali. Karena memang syariat Islam memberikan ruang untuk berijtihad di dalamnya.

Di antara contohnya adalah adanya perbedaan dalam masalah hukum qunut dalam shalat shubuh, jumlah bilangan rakaat tarawih, bacaan ushalli, zikir dengan suara keras dan berjamaah serta lain-lainnya. Semua itu adalah perbedaan yang bersifat fiqhiyah, bukan dalam hal aqidah. Jadi  mereka yang berbeda pendapat dalam masalah itu sebenarnya tetap sama-sama termasuk bagian dari ahli sunnah wal jamaah juga.

Sedangkan yang dianggap keluar dari aqidah ahli sunnah misalnya bila punya pandangan bahwa semua agama sama, atau bahwa pemeluk agama selain Islam juga bisa masuk surga, atau pandangan bahwa hukum Islam itu tidak wajib diterapkan, memisahkan antara agama dengan kehidupan dunia dan pemikiran sesat lainnya. Semua ini termasuk paham sesat yang bias mengeluarkan seseorang dari barisan ahli sunnah wal jamaah.

Hal diatas merupakan sedikit refleksi berkaitan tentang pola ajaran teknis aswaja, namun dalam makalah kali ini mencoba untuk memfokuskan pada aspek social dan akhlak dalam ajaran ahlu sunnah wal jama’ah.

Bab II

Pembahasan

Prinsip umum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

1. Akidah.

a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.

b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.

c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.


2. Syari'ah

a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.

b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3. Tashawwuf/ Akhlak

a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.

c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

 

4. Pergaulan antar golongan

a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.

b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.

c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.

d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5. Kehidupan bernegara

a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.

b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.

c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.

d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan

a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.

b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.

c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).

7. Dakwah

a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.

b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.

c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.[1]


Beberapa implementasi prinsip

Ketika membicarakan prinsip ahlu sunnah wal jamaah dalam bidang social, tentu tidak menutup kemungkinan menyangkut bidang kenegaraan dan politik secara umum. Disini akan berusaha memaparkan prinsip-prinsip tersebut sebagaimana berikut:

  1. Prinsip Syura (Musyawarah)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:


فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.


Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

  1. Al-'Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat

 

  1. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

  1. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.[2]

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja. Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.[3]

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.[4]

Kemaslahatan Universal (al-Mashlahah al-‘Ammah)

Al-Quran sebagai rujukan utama fikih Islam mempermaklumkan dirinya sebagai kitab petunjuk (hudan) dan rahmat. Ia juga menyatakan bahwa Nabi SAW diutus ke dunia untuk memberikan rahmat bagi alam semesta. Cita-cita Al-Quran adalah terciptanya sebuah kehidupan manusia yang bermoral yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal. 

Setelah melakukan penyelidikan ilmiah terhadap sabda-sabda agama, baik Al-Quran maupun Sunah Nabi SAW, Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, berani menyimpulkan bahwa syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan fikih. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita syari’ah.[5]

Secara lebih khusus, al-Ghazali dengan sangat mengesankan telah merumuskan kemaslahatan ini dalam bukunya yang sangat terkenal, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Ia mengatakan bahwa kemaslahatan adalah mewujudkan lima prinsip pokok agama baik secara perorangan maupun sebagai kelompok, yaitu memelihara [1] keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama(hifdh al-din); [2] keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdh al-nafs), [3] keselamatan kebebasan berfikir dan berekspresi dari intimidasi (hifdh al-‘aql), [4] keselamatan keluarga dan keturunan (hifdh al-nasl); [5] keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum (hifzdh al-mal). Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima prinsip ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang menegasikannya adalah kerusakan (mafsadah), dan menolak kemafsadatan adalah kemaslahatan.[6]

 

Aswaja dan Implementasi Kemaslahatan

Bagi Aswaja, seperti dikemukakan di atas, sesungguhnya syari’at Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar`u al-mafasid). Sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa bahwa syari’at Islam dibangun demi kebahagiaan (sa’adah) manusia baik di dunia maupun di akhirat (ma’asy wa ma’ad), sepenuhnya mencerminkan kemaslahatan tadi.[7]

Contoh klasik untuk tindakan mempertimbangkan kemaslahatan dalam menangkap makna dan semangat agama ialah apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar ibn Khaththab, berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian beserta garapan-garapannya yang baru dibebaskan tentara Muslim di negeri Syam (Syiria Raya, meliputi seluruh kawasan pantai timur laut tengah), Irak, Parsi dan Mesir.

Pendirian Umar untuk mendahulukan pertimbangan kemaslahatan umum daripada nash, baik secara ruang (meliputi semua orang di semua tempat) maupun waktu (mencakup generasi sekarang dan yang akan datang) mendapat tantangan keras dari beberapa sahabat, antara lain Abdurrahman ibn ‘Auf, Bilal bin Rabah, Zubair bin Awwam, yang lebih berpegang teguh kepada beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah atau praktek Nabi pada peristiwa pembebasan Khaybar (sebuah kota oase, beberapa ratus kilometer utara Madinah), dari kelompok orang Yahudi yang berhianat. Berangkat dari pertimbangan maslahat, ketika itu, Khalifah Umar menawarkan kebijakan untuk tidak  membagi habis tanah fai` yang luas itu pada tentara. Menurutnya, biarlah tanah taklukan itu tetap digarap oleh rakyat setempat (pemilik aslinya) dengan ketentuan mereka harus membayar retribusi (kharaj) tertentu pada negara sebagai imbalan dari kebebasan yang diberikan kepada mereka untuk tetap memeluk agama asli mereka.

Dengan ijtihad ini, Umar bermaksud meraih kemaslahatan sebagai berikut. Pertama, rakyat taklukan tidak perlu kehilangan mata pencaharian, melainkan tetap bisa bekerja di ladang mereka seperti sedia kala untuk memenuhi kebutuhan hidup, diri dan keluarganya. Kedua, dari retribusi yang mereka bayar, negara dapat menambah pendapatan yang bisa dipakai bukan saja untuk memberi tunjangan pada tentara perang yang telah berjuang menaklukkan negeri Iraq tadi, melainkan juga bisa untuk pembiayaan kegiatan kenegaraan dan pemerintahan sehari-hari.  Dengan mengacu kepada model ijtihad Umar ini, kiranya jelas bahwa yang cukup mendasar dari bangunan pemikiran fiqh adalah kemaslahatan.

Membaca alur pemikiran Umar diatas, tampaknya ia berupaya untuk menangkap cita kemaslahatan sebagai jiwa syari’at. Sebab, dalam kaca mata Aswaja, bangunan teoritik apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan nash maupun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan adalah sah, dan umat Islam berkewajiban untuk memegang dan mengimplementasikannya. Sebaliknya, konstruk teoritik apa pun dan yang bagaimanapun, yang secara terang benderang tidak menopang berlangsungnya suatu kemaslahatan, terlebih yang membuka kemungkinan terjadinya kemudaratan, dalam pandangan Aswaja, adalah cacat (fasid), dan umat Islam harus berupaya untuk mencegahnya.

Konsisten dengan paradigma di atas, maka nilai kesahihan suatu pendapat bukanlah diukur dari kesesuaian pendapat itu dengan bunyi ajaran, melainkan seberapa jauh pendapat itu memuat kemaslahatan. Dengan perkataan lain, pertanggungjawaban suatu pemikiran hukum bukan pada bunyi teks (nash) tertentu, tetapi pada; apakah hukum itu dalam kenyataannya telah menyentuh kemaslahatan orang banyak atau hanya menyantuni kepentingan sekelompok orang saja.  Oleh karena itu, kaidah yang berbunyi idza shahha al-hadits fa huwa madzhabi (apabila suatu hadits (teks ajaran) telah terbukti keshahihannya, maka itulah madzhabku [perlu ditinjau kembali. Kaidah inilah, kata Masdar, yang secara sistematis telah menggerakkan dunia pemikiran hukum dalam Islam yang lebih mengutamakan bunyi teks ajaran daripada makna substansialnya. Sebagai gantinya, tandas Masdar, kita perlu menegakkan kaidah yang berbunyi; idza shahha al-mashlahat fa hiya madzhabi (jika tuntutan kemashlahatan telah menjadi sah, maka itulah madzhabku). Karena itu, selain ditinjau dari segi doktrin, juga perlu dikembangkan metode pendekatan terhadap ajaran dengan melihat dan mengkalkulasi kemaslahatan dan kemudaratan yang akan dilahirkannya.

Dengan model pendekatan yang lebih menekankan pada dimensi kemaslahatan ini, tidak berarti bahwa segi formal dan tekstual dari hukum harus diabaikan. Ketentuan formal-prosedural-tekstual yang sah tetap harus menjadi acuan tingkah laku manusia. Namun, pada saat yang sama, haruslah dipahami bahwa  patokan tekstual hanyalah merupakan salah satu cara, sekali lagi yang terikat dengan ruang dan waktu, agar kemaslahatan itu dapat terwujud dalam kehidupan nyata. Sebab, suatu pemikiran betapapun canggih dari sudut teoritik, jika tidak membawa kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia, maka tidaklah terlalu banyak gunanya. Dalam tataran inilah Najmuddin al-Thufi mengatakan, jika terjadi pertentangan antara bunyi ajaran dengan cita kemaslahatan universal, maka didahulukanlah dalil kemaslahatan itu.[8] 

Apabila jalan pikiran ini disepakati, maka secara mendasar kita pun perlu meninjau kembali pemahaman kita terhadap konsep qath’iy-dzanniy dalam ushul al-fiqh. Ushul al-fiqh konvensional mengatakan bahwa yang qath`iy adalah sesuatu yang secara tegas ditunjuk dalam nash. Sementara yang dzanniy adalah sesuatu yang petunjuk nashnya tidak tegas, ambigu dan mengandung pengertian yang beragam.

Dalam konteks ini, Masdar F. Mas’udi menyatakan bahwa yang qath`iy dalam hukum Islam--sesuai dengan makna harfiahnya: sebagai sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental--adalah teks yang secara substansial menegaskan prinsip-prinsip yang secara nalar memang tidak perlu dipertanyakan lagi, karena ia merupakan kebenaran kategoris yang tegak dengan sendirinya, seperti kemaslahatan umum, penegakan hukum, kesetaraan manusiawi antara lelaki dan perempuan, dan lain sebagainya. Sedangkan teks yang mengandung kebenaran hipotesis, kebenaran instrumental, yang harus diukur dengan dengan prinsip kebenaran kategoris di luar dirinya, itulah yang dimaksud dengan yang dzanniy. Pendeknya,  teks dzanniy adalah adalah seluruh ketentuan-ketentuan normatif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menerjemahkan yang qath`i tadi.

Kaidah ushul al-Fiqh mengatakan bahwa ijtihad tidah bisa masuk pada daerah yang qath’i (la majala li al-ijtihad fiy ma lahu nash sharih qath’iy). Hudhari Bik mengatakan, al-mujtahad fihi kullu hukmin syar’iyyin, laysa fihi dalil qath’iy. Oleh karena itu, yang perlu diijtihadi adalah hal-hal yang dzanniy, yang tidak pasti, yang memang perlu diperbaharui secara dinamis dengan tetap berlandas tumpu pada yang qath’iy sebagai acuan etisnya yang bersifat statis.[9]

Dengan demikian, sebagai sesuatu yang qath’i, konsep kemaslahatan tidak perlu untuk diijtihadkan. Persoalannya, jika acuan hukum adalah kemaslahatan, maka siapa yang berhak mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk merumuskannya. Untuk menjawabnya, perlu kiranya dibedakan antara kemaslahatan yang bersifat individual-subyektif dengan kemashlahatan yang bersifat sosial-obyektif. Yang pertama adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang per orang yang bersifat independen, terpisah dengan kepentingan orang lain. Karena sifatnya yang subyektif, maka yang berhak menentukan maslahat dan tidaknya adalah pribadi yang bersangkutan. 

Sedang kemaslahatan yang bersifat sosial-obyektif adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, maka otoritas yang memberikan penilaian adalah orang banyak juga melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan (ijma’). Dan sesuatu yang telah menjadi konsensus dari proses pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hukum tertinggi yang mengikat kita. Di sinilah pemecahan masalah bersama cukup menentukan. Al-Quran mengatakan, urusan mereka dimusyawarahkan (dibicarakan dan diputuskan) bersama di antara mereka sendiri. (QS: al-Syura, 38).

Pengertian Akhlak

Secara kebahasaan perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari kosa kata bahasa arab akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari perkataan khilqun atau khuluqun yang berarti perangai, kelakuan, watak, kebiasaan, kelaziman, dan peraaban yang baik. Jadi secara kebahasaan perkataan akhlak mengacu kepada sifat-sifat manusia secara universal, laki-laki maupun perempuan, yang baik maupun yang buruk. Dengan demikian, perkataan akhlak mengacu kepada sifat manusia yang baik dan juga mengcau kenapa sifat manusia yang buruk. Ada akhlak yang baik dan ada akhlak yang buruk. Ada perempuan yang berahklak baik dan ada perempuan yang berakhlak buruk.

Pengertian Etika

Secara kebahasaan perkataan etika berasal dari bahas Yunani ethos yang berarti watak, kesusilaan, atau adapt. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).

Pengertian: etika menurut istilah dapat dipaparkan sebagai berikut:

Menurut Ahmad Amin, “etika adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia."

Menurut Soegarda Poerbakawatja, “etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan”.

Pengertian Moral

Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adapt kebiasaan. Dalam kamus Umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai (1) prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. (2) kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah. (3) ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.

Pengertian Susila

Secara kebahasaan perkataan susila merupakan istilah yang berasal dari bahasa Sansekerta. Su berarti baik atau bagus, sedangkan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Jadi, susila berarti dasar, prinsip, peraturan atau norma hidup yang baik atau bagus. Istilah susila pun mengandung pengertian peraturan hidup yang lebih baik. Selain itu, istilah susila pun mengandung pengertian peraturan hidup yang lebih baik. Selain itu, istilah susila dapat pula berarti sopan, beradab, dan baik budi bahasanya. Dengan demikian, kesusilaan dengan penambahan awalan ked dan akhiran an sama artinya dengan kesopanan.

Kesusilaan dalam pengertian yang berkembang di masyarakat mengacu kepada makna membimbing, memandu, mengarahkan, dan membiasakan seseorang atau sekelompok orang untuk hidup sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Persamaan
Ada beberapa persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
Pertama, akhlak, etika, moral dan susila mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat, dan perangkai yang baik.

Kedua, akhlak, etika, moral dan susila merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar martabat dan harakat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah kualitas akhlak, etika, moral dan susila seseorang atau sekelompok orang, maka semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya. Ketiga, akhlak, etika, moral dan susila seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, stastis, dan konstan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan dan aktualisasi potensi positif tersebut diperlukan pendidikan, pembiasaan, dan keteladanan, serta dukungan lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara tersu menerus, berkesinambangan, dengan tingkat keajegan dan konsistensi yang tinggi.[10]

Perbedaan
Selain ada persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila sebagaimana diuraikan di atas terdapat pula beberapa segi perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing dari keempat istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi perbedaan yang dimaksud:
Pertama, akhlak merupakan istilah yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Nilai-nilai yang menentukan baik dan buruk, layak atau tidak layak suatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai dalam akhlak bersifat universal dan bersumber dari ajaran Allah. Sementara itu, etika merupakan filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, etika bersumber dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis, yang pada intinya bersumber dari akal sehat dan hati nurani. Etika besifat temporer, sangat tergantung kepada aliran filosofis yang menjadi pilihan orang-orang yang menganutnya.

Implementasi Nilai-nilai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

Adapun pertanyaan bagaimana mangaktualisasikan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan mengimplementasikannya di lapangan menjadi hal yang sangat signifikan untuk mencari jawabanya. Seperti yang kita ketahui bahwa koridor bagi pemahaman keagamaan di lingkungan NU adalah taqdim al-nash ‘ala al-‘aql (menadhulukan nash atas akal).

Itulah sebabnya mengapa dalam mengimplementasikan faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah NU mengenal hierarki sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an, lalu al-Sunnah, kemudian ijma’ (kesepakatan jumhur ulama) dan qiyas (pengambilan hukum melalui metode analogi tertentu). Konteks hierarki maksudnya suatu hukum baru akan digunakan jika dalam sumber di atasnya tidak ditentukan ketetapannya.[11]

Hierarki sumber ini berlaku untuk semua aspek keagamaan, aqidah, syari’ah atau fiqh maupun akhlak. Hierarki semacam ini secara implisit juga tergambar dalam pernyataan Imam Asy’ari ketika memproklamirkan fahamnya didepan publik, bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, atsar sahabat, perkataan tabi’in, pembela hadist dan apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal.

Hooker memberi apresiasi yang tinggi seraya mencatat bahwa NU selalu merasa peduli terhadap metode yang benar dan sangat hati-hati. Dalam mengeluarkan fatwa. Contoh dalam fatwa No. 2/1926 masalah hierarki sumber hukum dibahas sedemikian rupa dalam rangka memberi batasan-batasan yang hati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Pada awalnya metode perumusan fatwa diambil dari konsensus (ijma’) Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, jika masih belum berhasil, lalu yang dijadikan rujukan adalah ulama madzhab Syafi’i. regulasi pengambilan sumber semisal ini, kemudian menjadikan NU terkesan konservatisme traditional, yang oleh kebanyakan pemikir “modern” semata-mata diartikan sebagai taqlid. Pemberian atribut seperti ini menurut Hooker sesungguhnya terlalu berlebihan dan patut dipertanyakan bahkan dapat menjadi kekeliruan serius.
Kenyataan bahwa tidak setiap orang mampu secara rinci memahami persoalan-persolan keagamaan, termasuk bagaimana menemukan persoalan-persoalan keagamaan dan menemukan dasar-dasarnya dalam al-Qur’an dan hadist haruslah ditempatkan dalam konteks yang berbeda. Ini merupakan alasan yang paling kuat mengapa K.H.M Hasyim Asy’ari mewajibkan taklid bagi setiap orang yang tidak mempunyai kemampuan beritjihad secara mutlak. Sebagai tambahan, kita juga tidak mungkin mengingkari realitas objektif bahwa jumlah orang awam terhadap masalah hukum Islam lebih besar dibanding dengan mereka yang menguasainya, itulah sebabnya mengapa kebutuhan bermadzhab masih relevan.[12]

Sesungguhnya proses pengambilan hukum yang dilakukan ulama pada dasarnya adalah tak dapat melepaskan diri dari meteologi itjihad yang telah dibangun ulama terdahulu, yang berladaskan pada dasar yang kokoh, tidak mulai dari nol, tetapi harus mengikuti para pendahulu dalam hal sistematika pemikirannya, inilah yang dimaksud dengan taklid metodologis/madzhab manhaji) bukan produk pemikirannya yang kemudian dibakukan. Taklid semacam ini tetap membutuhkan sikap kritis, ide-ide segar yang mampu merespons perkembangan zaman, sehingga kesimpulan hukum yang diambil relevan dan mampu menjawab realitas zaman.

Menurut K.H Achmad Shiddiq, faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah harus berlandaskan tiga karakter, yaitu tasawuth, atau sikap moderat dalam seluruh aspek kehidupan, al-i’tidal atau bersikap tegak lurus dan selalu condong kepada kebenaran dan keadilan, dan al-tawazun yakni sikap keseimbangan dan penuh pertimbangan Tiga karakter tersebut sangat diperlukan untuk menghindarkan tatharruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek kehidupan.

Hal ini sesungguhnya merupakan implementasi dari kekukuhan NU memegang prinsip-prinsip keagamaan yang telah dirumuskan ulama terdahulu, diantara prinsip tersebut adalah al-‘Adah al-Muhakkamah yakni sebuah tradisi yang kemudian menjelma menjadi semacam pranata sosial. Maksudnya adalah rumusan hukum yang tidak bersifat absolut dapat ditata selaras dengan subkultur sebuah komunitas masyarakat menurut ruang dan waktunya dengan mengacu kepada kesejahteraan dan kebaikan mereka. Hal ini dapat dilakukan selama tidak kontradiksi dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat qath’i, dalil-dalil yang merupakan kaidah umum dan prinsip-prinsip universal.

Al-‘Adah al-Muhakkamah menjadikan performance Islam sebagai agama yang dinamis dan membumi dan selalu aktual ditengah-tengah masyarakat, dan menampilkan Islam sebagai agama yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan ummat tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Kaum Nahdliyin juga mengenal kaidah dar’u al-mafasaid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (mencegah marabahaya lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan). Maksudnya, masyarakat perlu memilih langkah menghindari bahaya daripada mengupayakan kebaikan yang berisiko tinggi. Prinsip ini mendorong masyarakat untuk bertindak cermat dan tepat sehingga aktifitasnya benar berdampak positif, baik bagi dirinya maupun orang lain.

Kaidah lainnya yang penting adalah tasharruf al-imam manuthun bi maslahah al-ra’iyyah (kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya. Maksudnya, seorang penguasa merupakan penjelmaan kepentingan rakyatnya. Ia bukanlah representasi atas dirinya sendiri, karena itu segala kebijakan yang diambil, harus mengacu kepada kepentingan rakyat yang dipimpinnya.



Pada dasarnya NU senantiasa cukup responsif terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang terjadi di masyarakat. Mulai disepakatinya konsep tentang prinsip-prinsip dasar pembangunan ummat (mabadi khoiro ummah) dalam Muktamar NU XIII tahun 1953, lalu disempurnakan pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung, tahun 1992. wawasan NU tentang pluralitas masyarakat juga tergambar dalam upaya-upaya perumusan dasar negara pada masa kemerdekaan, penerimaan asas Pancasila bagi organisasi sosial dan kemasyarakatan yang ada di Indonesia. selain itu NU mempunyai Lembaga Bahtsul Masa’il, suatu forum yang membahas masalah-masalah keagamaan kemasyarakatan kontemporer dan berusaha merumuskan solusinya.[13]

Ide NU untuk mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik (khaira ummah), sebenarnya telah diupayakan oleh NU sejak 1935 dengan konsep Mabadi Khaira Ummah. Tokoh-tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq (kejujuran), al-amanah wa al-wafa bil ‘ahd (dapat dipercaya dan pemenuhan komitmen), al-‘adalah (berlaku adil), al-ta’awun (tolong menolong) dan al-istiqomah (berkesinambungan). Dua hal yang disebut terakhir dilengkapi di Bandar Lampung tahun 1992.
Dalam tatanan implementasi mabadi’ khaira ummah sangat berkaitan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar (istilah yang diperkenalkan oleh al-Qur’an dalam al-A’raf 157:…ya’muruhum bi al-ma’ruf wa yanhahum ‘an al-munkar…). Konsep memerintahkan kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar merupakan instrumen gerakan NU sekaligus barometer keberhasilan mabadi’ khira ummah. Amar ma’ruf mengandung pengertian bahwa setiap orang Islam mempunyai kewajiban moral bagi dirinya dan mendorong orang lain berperilaku positif, berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia baik secara fisik maupun non fisik, melakukan yang dapat memberikan implikasi positif bagi manusia di sekitarnya. Segala aktivitas individu diupayakan mempunyai basis sosial yang tinggi, sehingga kemajuan yang diraih oleh seseorang secara otomatis memberikan dampak kemajuan terhadap orang lain.

Interaksi kalangan internal NU dan sikap kebersamaannya yang tinggi dengan masyarakat disekelilingnya. Sudah cukup dikenal, ras persudaraan yang seperti ini yang seharusnya terus terinternalisasi dalam diri warga NU (ukhuwah nahldiyyah). Konsep ukhuwah dalam pengertian persatuan, ikatan batin, tolong menolong, kesetiaan antar ummat manusia dapat melahirkan kebahagiaan serta faktor penting bagi tumbuh kembangnya persaudaraan dan kasih sayang telah ditegaskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari.

Sementara itu menurut K.H.M A Sahal Mahfudz, konsep ukhuwah nahdliyyah merujuk kepada Mukaddimah AD/ART NU yang secara umum dinyatakan bahwa NU perlu mengembangkan ukhuwah islamiyyah yang mengemban kepentingan nasional demi terciptanya sikap saling pengertian, saling membutuhkan dan perdamaian dalam hubungan antar bangsa.
Selanjutnya dalam konteks yang lebih luas, dari interaksi antar individu muslim trercipta ukhuwah islamiyyah (persaudaraan sesama muslim). Dan dari interaksi sesama anak bangsa akan terciptanya ukhuwah insaniyyah (solidaritas kemanusiaan), persaudaraan global sesama manusia.
Selanjutnya, untuk melestarikan konsep Aswaja dalam kehidupan warga NU, adalah menjadi sangat penting untuk meneruskan nilai-nilai tersebut bagi generasi muda NU antara lain melalui kurikulum yang disusun untuk sekolah-sekolah NU. Dalam upaya memenuhi kebutuhan ini Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU telah menerbitkan buku untuk keperluan dimaksud, yakni Mata Pelajaran Pendidikan Ahlusunnah Waljama’ah (Aswaja) dan ke-NU-an Standar Kompetensi. Namun nampaknya diperlukan tindak lanjut untuk menyiapkan buku ajar bagi masing-masing level sekolah[14].

Bab III

Penutup

Kesimpulan

Prinsip umum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah mencakup Akidah, syari’ah, akhlak, pergaulan antar golongan, kehidupan bernegara, kebudayaan dan dakwah. Dari masing-masing point tersebut diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari warga ahlus sunnnah wal jama’ah yang di Indonesia di akomodir oleh organisasi kemasyarakatan Nahdhatul Ulama.

Berbicara aktualisasi paham ahlus sunnnah wal jama’ah dalam kehidupan sosial, tidak bisa dilepaskan dari tatanan bernegara dimana secara paham mempunyai prinsip sendiri. Di antara implementasinya adalah: Prinsip Syura (Musyawarah), Al-'Adl (Keadilan), Al-Hurriyyah (Kebebasan), Al-Musawah (Kesetaraan Derajat).

Disemua ajarah dan prinsip ahlus sunnnah wal jama’ah diatas mempunyai cirri khas dalam mengimplementasikan setiap nilai-nilainya sesuai konteks yang ada dalam kehidupan tanpa menghilangkan kultur dan ajaran yang telah ada.

Daftar Pustaka:

Harun Nasution,  Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 65, cet. I, Ed. II, (Jakarta: Penerrbit Universitas Indonesia, 2002).

Drs. H.A. Nasir Yusuf dan Drs. Karsidi Diningrat,, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Buku I), h. 46 – 47, (Bandung: Pustaka Setia, 1998)

KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999)

KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995)

HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljamaah, diterbitkan Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979

KH. Saefudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Praktek, IPNU Jakarta, 1976

KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljamaah, Pengertian dan Aktualisasinya



[1] HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljamaah, diterbitkan Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979


[2] KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), hal 21-26


[3] KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995), hal 40


[4] KH. Said Agil Siradj, op. cit, hal 28


[5] KH. A. Muchith Muzadi, op, cit, hal; 24


[6] HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljamaah, diterbitkan Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979, hal. 21


[7] KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljamaah, Pengertian dan Aktualisasinya, hal 68


[8] Ibid, hal 98-115


[9] Ibid, hal 135-143


[10] KH. Saefudin Zuhri, hal 114-124


[11] Drs. H.A. Nasir Yusuf dan Drs. Karsidi Diningrat,, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Buku I), h. 46 – 47, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal 61


[12] KH. Said Agil Siradj, hal 134-159


[13] Ibid, hal 156-170


[14] Ibid hal 190-214




Leave a Reply.