(Tinjauan Sejarah dan Kajian Kepustakaan)

 

A. Penegrtian Sejarah Islam

Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah, atau dalam bahasa Inggris disebut history. Dari segi bahasa, al-tarikh berarti ketentuan masa atau waktu, sedang ‘Ilmu Tarikh’ ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.[1]

Sedangkan menurut pengertian istilah, al-tarikh berarti; ’’sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu atau masyarakat, sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia’’.[2]

Dalam bahasa Indonesia sejarah berarti: silsilah; asal-usul (keturunan); kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan Ilmu Sejarah adalah ’’pengetahuan atau uraian peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau’’.[3]

Dalam bahasa Inggris sejarah disebut history, yang berarti orderly description of past events (uraian secara berurutan tentang kejadian-kejadian masa lampau). [4]

Menurut Ibnu Khaldun, sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga 
penalaran kritias untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa masa lampau. Dengan demikian unsur penting dalam sejarah adalah adanya objek peristiwa (who), adanya batas waktu (when), yaitu masa lampau, adanya pelaku (who), yaitu manusia, tempatnya (where), latar belakangnya (whay), dan daya kritis dari peneliti sejarah.

Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini maka muncullah istilah yang sering digunakan untuk sejarah Islam ini, diantaranya Sejarah Islam, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam.

 

B. Periodisasi Sejarah Islam

Dikalangan ahli sejarah terdapat perbedaan tentang kapan dimulainya sejarah Islam yang telah berusia lebih dari empat belas abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah Islam (muslim) dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul, dan berada di Makkah atau tiga belas tahun sebelim hijrah ke Madinah. Di lain pihak menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Atau tepatnya setelah Nabi Muhammad SAW. Berhijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib.

Timbulnya perbedaan dari kedua belah pihak tersebut disebabkan karena perbedaan tinjauan tentang unit sejarah. Pihak pertama melihat bahwa unit sejarah adalah masyarakat. Masyarakat Muslim telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan seruannya. Malah jumlah mereka sedikit atau banyak tidak menjadi soal. Disamping itu, meskipun mereka belum berdaulat, tetapi sudah terikat dalam satu organisasi yang memiliki corak tersendiri. Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat sejarah itu adalah Negara, sehingga sejarah Islam muai dihitung sejak lahirnya Negara Madinah.

Perbedaan pendapat tersebut akan tercermin pada pembagian periodisasi sejarah (kebudayaan) Islam yang dikemukakan oleh para ahli, terutama dalam hal tahun permulaan sejarah Islam pada periode pertama atau biasa disebut periode klasik, dan bahkan ada yang menyebutkan sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam periode klasik tersebut.

Hasjimy[6] menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan telah membagi sejarah kebudayaan Islam kepada sembilan (9) periode, sesuai dengan perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan social dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu. Kesembilan periode itu adalah, sebagai berikut:

1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;

2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );

3. Masa Daulah Abbsiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );

4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );

5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );

6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );

7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );

8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );

9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.

Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periode sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijrah. Hal ini berarti mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu.

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nourouzzaman as-Shiddiqi[7] yang menyatakan bahwa waktu sekarang ini para sejarawan cenderung mengambil masyarakat sebagai unit sejarah. Jika unit sejarah itu tertumpu pada Negara, maka hal itu mengandung kelemahan. Artinya, batas Negara tidak selalu tetap. Dia telah membagi perjalanan sejarah Islam ke dalam tiga bagian besar beserta cirri-ciri sebagai berikut:

1. Periode klasik, yang dimulai sejak Rasulallah SAW. Menyampaikan seruannya sampai masa runtuhnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 656 H/1258 M. Cirinya ialah tanpa menutup mata terhadap adanya dinasti-dinasti kecil, Dinasti Umaiyah Barat yang berkedudukan diAndalusia dan interengum (masa peralihan pemerintahan) Dinasti Fatimah di Mesir, masih ada satu kekuasaan politik yang kuat dan disegani. Dalam periode klasik inilah umat Islam mencapai prestasi-prestasi puncak di bidang kebudayaan.

2. Periode pertengahan yang dimulai sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah sampai abad ke-11 H/17 M. Ciri-cirinya ialah kekuasaan politik terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Osmanli Turki, Mamluk Mesir, Umaiyah Barat di Andalusia, Mamluk India, dan berdirinya kerajaan-kerajaan Muslim yang berdaulat sendiri-sendiri.

3. Periode modern, yaitu sejak abad ke-12 H/18 M sampai sekarang. Dalam periode ini umat Islam sudah tidak memiliki kekuatan politik yang disegani. Dinasti Turki Osmanli yang pernah menggedor pintu Wina sudah mendapat julukan The Sick Man of Europa. Bukan saja Turki sudah tidak mampu memperluas wilayah dibagi-bagi antara Inggris, Perancis dan Rusia. Wilayah Turki Barat seperti sepotong kue yang menjadi rebutan antara kekuasaan-kekuasaan besar Barat. Bekas jajahan setiap Negara Barat inilah yang kemudian melahirkan Negara-negara baru setelah Perang Dunia I.

Pembagian periode sejarah Islam ke dalam tiga (3) periode tersebut memang merupakan pembagian secara garis besar. Bila dikaitkan dengan pendapat A. Hasjmy, maka periode pertama (periode klasik) dimulai sejak masa permulaan Islam sampai menjelang berakhirnya masa Daulah Abbasiyah IV (No. 1-6); periode kedua (periode pertengahan) adalah masa Daulah Mongoliyah dan masa Daulah Usmaniyah (No.7 dan 8); sedangkan Nomor 9 sebagai periode ketiga (periode modern).

Dari pendapat tersebut dapat dipahami periodisasi sejarah Islam dimulai pada tahun (650 M), yang berarti dia tidak memasukkan masa permulaan Islam (sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul) sampai dengan tahun 650 M, sebagai periode Islam. Pada selama masa itu (610-650 M) Nabi Muhammad SAW dan umatnya (para sahabat) telah banyak berperan membawa perubahan-perubahan besar dikalangan masyarakat, yang seharusnya dimasukkan dalam suatu babakan (periodisasi) sejarah tersendiri.

Karena itu, untuk tidak mengurangi arti pendapat-pendapat sebelumnya dan juga pendapat dari Harun Nasution tersebut, maka ada baiknya periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:

1.      Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M).

2.      Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).

3.      Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan

4.      Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan zaman kebangkitan Islam.

C. Beberapa Peristiwa Penting Yang Terjadi Pada Masing-masing

Periode Sejarah Islam

I. Periode Praklasik (610-650 M)

Periode ini dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu:

1. Fase Pembentukan Agama (610-622 M)

Pada fase ini Nabi Muhammad SAW melakukan kegiatan pembentukan akidah dan pemantapannya serta pengalaman ibadah di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama dan wahyu-wahyu berikutnya, kemudian Nabi Muhammad SAW memperkenalkan Islam kepada masyarakatnya di Makkah berdasarkan wahyu tersebut. Dakwah yang beliau lakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pertama, memperkenalkan Islam secara rahasia, dalam arti terbatas pada keluarga terdekat dan teman-teman akrabnya, melalui pendekatan pribadi. Tahap ini dilakukan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan kejutan dikalangan masyarakat, namun hasilnya cukup memadai,terbukti beberapa keluarga dan teman terdekatnya berhasil masuk Islam. Kedua dilakukan dengan semi rahasia, dalam arti mengajak keluarganya yang lebih luas dibandingkan pada tahap pertama, terutama keluarga yang bergabung dalam rumpun Bani Abdul Mutholib (Baca QS. As-Syu’ara: 214), Ketiga dilakukan secara terbuka dan terang-terangan dihadapan masyarakat umum dan luas (Baca QS.al-Hijr: 94) pada tahap ini Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya menghadapi oposisi dari berbagai pihak, bahkan mendapatkan siksaan berat sebagiannya mengakibatkan kematian. Sungguhpun demikian, akidah mengikuti Nabi tetap kokoh dan tidak luntur dalam menghadapi oposisi tersebut. Berbagai upaya dilakukan antara lain pengungsian rahasia ke Abbesinia, tetapi justru menimbulkan pengejaran hebat, bahkan terjadi pemboikotan massa atas pengikut Nabi Muhammad SAW. A. Syalabi[9] telah menjelaskan beberapa sebab timbulnya reaksi negatif terhadap dakwah beliau, yaitu:

1)      Persaingan dalam berebut kekuasaan.

2)      Persamaan hak antara kasta bangsawan dan kasta hamba sahaya.

3)      Takut dibangkitkan setelah manusia mati,untuk mempertanggungjawabkan segala amalannya selama hidup di dunia.

4)      Taklid kepada nenek moyang.

5)      Memperniagaan patung (masalah ekonomi).

2. Fase Pembentukan Negara (622-632 M)

Sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah) didahului dengan usaha memengaruhi para peziarah Ka’bah di Makkah agar mereka masuk Islam. Di antara mereka banyak yang berasal dari kabilah Khazraj dan Aus (Yatsrib/Madinah). Ternyata sebagian mereka menyambut baik atas seruan dan ajakan Nabi Muhammad SAW tersebut, yang pada gilirannya menyatakan diri masuk Islam serta diikuti dengan perjanjian kesetiaan mereka kepada agama Islam dan Nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan ’’Perjanjian Aqabah’’.Beberapa upaya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah, yaitu:

1) Mendirikan Masjid, sebagai tempat ibadah dan berkumpulnya umat Islam, secara gotong-royong;

2) Mempersaudarakan antara kaum Anshor dan Muhajiin;

3) Membuat perjanjian persahabatan (toleransi) antara intern umat Islam dan antara umat beragama; dan

4) Meletakkan dasar-dasar politik ekonomi dan social untuk masyarakat baru. Karena itu terbentuklah masyarakat yang disebut Negara kota dengan membuat konstitusi di dunia.[10]

3. Fase Pra-Ekspansi (632-650 M)

Merupakan fase ekspansi pertama (pendahuluan), yang pada dasarnya dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:

Pertama: Fase konsolidasi. Abu Bakar sebagai kholifah Islam pengikut Rasulallah SAW. (632 M) harus menghadapi suku-suku bangsa Arab yang tidak mau lagi tunduk kepada Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang mereka buat dengan Nabi SAW. Dengan sendirinya tidak mengikat lagi setelah beliau wafat. Selanjutnya mereka mengambil sikap menentang Abu Bakar ( ingkar kepada pemerintah Islam ) tidak mau membayar dinar karena itu Abu Bakar menyelesaikannya dengan perang Riddah (melawan kaum separatis) di bawah komando Khalid bin Walid, dan kemenangan di pihak Abu Bakar ( umat Islam ).[11]

Kedua, Fase pembuka jalan. Dimana setelah selesai perang dalam negeri tersebut (konsolidasi), Abu Bakar mulai mengirim kekuatan-kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin al-Walid memimpin tentara yang diantar ke Irak (wilayah Bizantium) dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Bersama dengan itu ke Suria (Iran) dikirim tentara di bawah pimpinan tiga Jendral: Amr Ibnu ‘Ash, Yazid Ibnu Abi Sofyan dan Syurahbil Ibnu Hasanah, dan ditunjang oleh pasukan Khalid, sehingga dapat menguasai kota Ajnadin dan Fihl.[12]

Ketiga, Fase pemerataan jalan. Dimana usaha-usaha yang dirintis oleh Abu Bakar untuk membuka jalan ekspansi, kemudian dilanjutkan oleh khalifah kedau, Umar bin Khatab (634-664 M). pada zaman Umar inilah gelombang ekspansi pertama terjadi kota Damaskus jatuh di tahun 635 M dan setahun kemudian Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, daerah Suria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan adanya gelombang ekspansi pertama ini (menurut istilah kami fase perantara jalan ekspansi). Maka kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar telah meliputi selain Semenanjung Arabiah, juga Palestina, Suria, Irak, Persia, dan Mesir.[13]

Keempat, Fase jalan buntu, yaitu pada zaman Usman bin Affan (644-656 M) sebagai khalifah ketiga, dan pada zaman Ali bin Abi Thalib (656-661 M) khalifah keempat. Pada zaman Usman, meskipun Tripoli, Ciprus dan beberapa daerah lain dikuasai, tetapi gelombang ekspansi pertama berhenti sampai disini, karena dikalangan umat Islam mulai terjadi perpecahan menyangkut masalah pemerintahaan dan dalam kekacauan yang timbul itu Usman mati terbunuh.

Selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi mendapat tantangan dari pendukung Usman, terutama Muawiyah Gubernur Damaskus dari Golongan Thalhah dan Zubair di Makkah dan kaum Khawarij dan Ali sebagaimana Usman juga terbunuh. [14]

II. Periode klasik (650-1250 M)

Periode Klasik ini merupakan zaman kemajuan umat Islam. Harun Nasution[15]telah membagi periode klasik ini ke dalam dua (2) fase, yaitu:

  1. Fase Ekspansi, Integrasi, dan Puncak Kemajuan (650-1000 M)
Periode klasik ini merupakan periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di Barat sekarang, sungguhpun tidak dengan secara langsung. Hal ini diakui oleh para orientalis Barat, sebagai berikut:

  1. Christopher Dawson, menyatakan:”Periode kemajuan Islam ini bersamaan masanya dengan abad kegagalan di Barat (Eropa).”
  2. H. McNeill, menyatakan:”Kebudayaan Kristen di Eropa di antara tahun 600-1000 M sedang mengalami masa surut yang rendah. Di abad XI Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur, dan melalui Spanyol, Sicilia, Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit di bawa ke Eropa.”
  3. Gustave Lebon, menyatakan: “Orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka imam kiita selama enam abad..”
  4. Romm Landayu, dari hasil penelitiannya mengambil kesimpulan bahwa “dari orang Islam periode klasik inilah orang Barat belajar berfikir serta objektif dan logis, dan belajar lapang dada.
  5. Jacques C. Rislar juga menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam memengaruhi kebudayaan Barat.”[16]
2. Fase Disintegrasi (1000-1250 M)

Fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri dinasti-dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk menguasai satu sama lain. Misalnya:(1). Dinasti Buwaihi yang menguasai daerah Persia dikalahkan oleh Saljuk pimpinan Tughril Beg (1076 M).

(2). Dinasti Saljuk waktu dipimpin Nizamul Mulk dikalahkan oleh Dinasti Hasysyasin pimpinan Hasan Ibnu Sabah, yang meskipun Dinasti Saljuk masih sempat berdiri, tetapi akhirnya dikalahkan total pada Perang Salib oleh Paus Urban II (1096-1099 M).

III. Periode Pertengahan (1250-1800 M)

Periode pertengahan ini juga dibagi ke dalam dua (2) fase yaitu:

1. Fase Kemunduran (1250-1500 M)

Pada masa ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah, demikian juga antara Arab dan Persia bertambah tampak. Dunia Islam pada zaman ini terbagi dua, yaitu: Bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir dan Afrika Utara, dengan Mesir sebagai pusat, dan Bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai Pusat.

2. Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1700 M) yang Dimulai dengan Zaman Kemajuan (1500-1700 M), Kemudian Zaman Kemunduran (1700-1800 M). Tiga Kerajaan Besar Tersebut Ialah Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India.

Dimasa kemajuaan, ketiga kerajaan besar tersebut mempunyai kerajaan masing-masing, terutama dalam bentuk literature dan arsitek. Masjid-masjid dan gedung-gedung indah yang didirikan di zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, di Tibriz, Isfahan, serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat Islam di zaman ini lebih banyak merupakan kemajuan di periode klasik.

Sedangkan di zaman kemunduran kerajaan Usmani terpukul di Eropa, Kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afgam, dan daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raa India. Kekuatan militer dan kekuatan politik umat Islammenurun umat Islam dalam keadaan kemunduran drastis. Akhirnya Napoleon pada tahun 1798 M. menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam terpentin[17]jatuhnya pusat umat Islam ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam.

IV. Periode Modern (1800 M-dan seterusnya)

Ciri-ciri umat Islam pada periode modern ini adalah keadaan yang berbalik dengan pada periode klasik. Dalam arti, umat Islam pada periode ini sedang menaik sementara Barat sedang dalam kegelapan sedang pada periode modern ini sebaliknya, umat Islam sedang dalam kegelapan sementara Barat sedang mendominasi dunia Islam, dan umat Islam ingin belajar dari Barat tersebut.

  KONSTRUKSI TEORI PENELITIAN AGAMA ISLAM  DI TINJAU MELALUI STUDI KEPUSTAKAAN DENGAN MELALUI BEBERAPA PENDEKATAN Adams mengemukakan bahwa tidak dapat dipungkiri pengetahuan yang paling produktif dalam  penelitian studi Islam adalah histories dan filologi.18

  Pendekatan Historis Dalam melakukan konstruksi teori penelitian agama melalui pendekatan historis ini, dapat dilakukan dengan dua metode sebagai berikut19: 

1.      Metode Kritik Dan Pembuktian Kebenaran

            a.      Meneliti dan Mempelajari Sanad

Secara bahasa, kata al-isnad berarti yang dipegangi (almu’tamad). disebut demikian karena matan itu merujuk dan bergantung kepadanya. Adapun secara istilah, al-isnad merupakan rangkaian para periwayat yang menyampaikan suatu khabar, dari satu perawi kepada perawi berikutnya secara berangkai, hingga sampai pada sumber khabar yang diriwatkan itu.

Dalam metode keisalaman, sanad dipandang sebagai tulang punggung berita. Ia merupakan media kritik terhadap suatu khabar, karena dengan diketahui siapa-siapa periwayatnya maka akan dapat diktahui pula nilai khabar itu. Sanad  yang bersambung lagi sahih merupakan karakteristik umat islam. Kegunaannya ialah untuk memberikan rasa tenteram dan percaya pada khabar yang diriwayatkan dengan cara seperti ini, karena didalamnya terhimpun sejumlah bukti dan pendukung berupa perawi-perawinya bersifat ‘adil, tsiqah dan dhobit. Dari sejumlah pendukung itulah kesahihan suatu khabar yang diriwayatkan menjadi kokoh.

Kegunaan lainnya, bahwa riwayat-riwayat yang disandarkan pada sanad jauh lebih utama dibandingkan riwayat atau khabar yang disampaikan dengan tanpa sanad, karena sanad dalam suatu riwayat itu dapat digunakan untuk melacak otentisitas riwayat tersebut. Mekanisme kritik dan pengujiannya juga dapat dilakukan dengan cara yang jauh lebih sempurna dibandingkan dengan khabar-khabar yang tak bersanad. denagan demikian tujuan penetapan sanad adalah memastikan kesahihan (kebenaran) suatu nash (teks) atau berita, serta melenyapkan kepalsuan dan kebohongan yang mungkin ada padanya.

Dalam bidang  penelitian historis (sejarah), dengan penyebutan sanad akan membantu pelacakan suatu riwayat dan kritik informasi. Maka oleh karena itu para ulama tetap mempertahankan eksistensi sanad. Mereka para ulama salaf  telah melakukan tugas pengumpulan dan pengkodifikasian , baik dalam bidang sejarah hidup Nabi Shallallohu ’Alaihi Wasallam (sirah nabawiyah), ataupun informasi historis lainnya.

Sungguh perhatian ulama terhadap persoalan sanad telah dimulai sejak periode yang cukup awal, yaitu sesudah (akibat) peristiwa fitnah yang menimpa umat islam dizaman kholifah Utsman radhiyallahi ánhu yang kemudian diikuti oleh kemunculan firqah-firqah yang masing-masing mempunyai pandangan politis yang saling bertentangan, serta kelompok-kelompok yang fanatis. Salah satu akibatnya tersebarlah kebohongan-kebohongan dan mulailah terjadinya pemalsuan (riwayat). Dimana masing-masing firqah membuat hadits dan khobar palsu untuk membenarkan pendapatnya. Latar belakang historis inilah yang menyebabkan ulama merasakan semakin pentingnya penelitian terhadap sumber-sumber riwayat itu.

              b.      Meneliti dan Mempelajari Matan

Secara bahasa matan adalah sesuatu yang keras/terjal dan mencuat dari tanah. sedangkan secara istilah matan merupakan susunan kalimat yang tercantum pada akhir sanad, yang berarti teks dari khabar itu sendiri. Yang dimaksudkan dengan studi matan di sini adalah mempelajari nash dari berbagai seginya; diantaranya ada yang memfokuskan pada penelitian diseputar kesahihannya, apabila tidak bertentangan dengan watak (alami) sesuatu dan informasi-informasi kesejarahan yang sudah valid, atau tidak mengandung sesuatu yang tidak mungkin atau kemustahilan, dan lain-lain. Diantaranya pula, studi matan itu ada yang difokuskan pada upaya pemahaman (makna) nash itu sendiri, baik menyangkut pemahaman atas muatan hukumnya, dalalah (konotasi) nya, atau pemahaman segi bahasa dan lafadznya.

Penting untuk ditegaskan sesungguhnya jerih payah ulama itu ternyata tak hanya difokuskan pada upaya penelitian atau kritik sanad saja, tetapi juga berupa kritik (penelitian) matan, karena ternyata illat (cacat) suatu riwayat itu tak hanya terjadi pada sanad, melainkan boleh jadi juga pada matan.

Ini artinya bahwa para ulama hadits telah memberikan perhatian serius pada matan hadits sebagaimana mereka juga memperhatikan sanadnya. Sebab penerimaan mereka terhadap suatu matan padahal isnadnya mengandung cacat, hal itu jelas menunjukkan betapa dalamnya penelitian mereka mengenai kritik nash (matan), dan bahwa sanad yang dho’if  tidak mesti menghalangi mereka untuk menerima matan yang sahih atau ma’ruf dari jalur sanad yang lain.

            c.      Syarat-Syarat Riwayat Yang Diterima.

DR. Akram Dhiya’ al-‘Umariy mengatakan : “sebagaimana kaidah-kaidah hadits yang digunakan dalam kritik periwayatan, maka menyangkut berita-berita sejarah sebaiknya kekuatannya disesuaikan dengan materinya, sampai sejauh mana dia melibatkan hawa nafsu pada perawinya . seperti kalau riwayat-riwayat itu menyentuh pada aqidah semisal fitnah-fitnah yang terjadi diseputar sahabat, atau yang berhubungan dengan hukum-hukum agama (syar‘iyyah) seperti persoalan-persoalan fiqh terdahulu, maka sesungguhnya bersikap ketat  dalam penerimaannya dengan menggunakan kaidah-kaidah kritik hadits dengan jeli terhadap perkara, dalah sikap yang layak diterima”. Adapun bila khobar yang diriwayatkan itu tidak berkaitan sedikitpun dengan hukum-hukum syar’iyah (agama) -sekalipun seyogyanya juga perlu mendapatkan perhatian yang serupa- maka boleh bersikap longgar terhadapnya sebagai analogi terhadap apa yang oleh ulama hadits diistilahkan dalam “Bab al-tasyaddud dalam hadist-hadits tentang fadlail amal”.

Dalam hal ini al-Khafiji berkata : “seorang sejarahwan boleh meriwayatkan pendapat yang lemah untuk tujuan targhib, tarhib, I’tibar (penguat), namun kelemahannya tetap diberi catatan (reserve). Sikap tersebut tidak diperkenankan bila menyangkut dzat Sang Pencipta Azza wa Jalla dan sifat-Nya. Juga tidak diperkenankan dalam masalah hukum. 

Dalam kaitan ini perbedaan sikap terhadap informasi sejarah, antara sikap ketat dan relatif longgar, dapat kita lihat dengan nyata pada sikap al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menggabungkan sejumlah riwayat dalam kitabnya ”Fathul Bari”.

2.  Metode Interpretasi Historis; Sumber-sumber dalam menafsirkan Peristiwa dan Menilainya

             Yang dimaksud dengan Interpretasi Histori adalah pengetahuan tentang benang merah yang menghubungkan peristiwa dan kejadian yang berbeda untuk mengetahui motivasi tersebut, titik tolak, konklusi, serta pelajaran yang  dapat dipetik dibalik peristiwa itu.  

            Metode Interpretasi histori itu dibangun di atas pondasi konsep-konsep dan nilai-nilai, yang bila mana ia benar, maka metode tersebut dengan sendirinya akan benar dan lurus. Demikin pula sebaliknya jika konsep dan nilai itu rancu dan menyimpang maka hal yang sama akan mempengaruhi sebuah metode. Dan seperti dimaklumi bahwa setiap umat memiliki konsep tersendiri tentang manusia, kehidupan dan alam. Dan atas dasar konsep tersebut terbentuklah nilai, kehidupan kemasyarakatan, politik dan ekonomi. Melalui konsep/pemahaman itu pula manusia memandang berbagai persoalan, peristiwa-peristiwa dan manusia.

               Sesungguhnya tafsir islam atas sejarah itu didasarkan pada asas bahwa manusia itu memiliki tujuan dalam hidupnya, yakni tugas ” khilafah”: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “ sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”. Dan Alloh yang maha Mulia dan maha Tinggi mempersyaratkan untuk kekhalifahan ini satu syarat yaitu : “maka jika datang petunjuk dari pada-Ku ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa yang berpaling dari peringatakan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.

              Fungsi manusia bukan hanya sekedar mencari makan sebagaimana konsep interpretasi materialistik dalam sejarah. Tetapi ia merupakan semua unsur yang tercakup dalam diri manusia, seperti potensi, kekuatan dan aspirasi, di samping tuntutan-tuntutan fisik yang amat mendesak. Juga upaya menerjemahkan ideologi (aqidah) yang dianut oleh manusia ke dalam realita kehidupan, tindak tanduk, etika, dan hubungan kemanusiaan, yang berjalan diatas bumi. Dengan realita tersebut, orang lain langsung dapat melihat sosok islam.

              Dibawah ini kami sajikan beberapa kaidah mengenai sumber-sumber yang sepatutnya diperhatikan dalam meneliti historis islam, sebab histori islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi keislaman itu sendiri.

A.    Mempedomani Sumber-sumber Syari’ah (hukum) dan lebih mengutamakannya dari sumber-sumber lain, dalam ketentuan yang telah digariskan menyangkut berita, parameter (dhawabith) dalam persoalan ahkam.

      Hal ini berdasarkan pada dua alasan:

Pertama: karena sumber-sumber syari’ah merupakan sumber yang paling valid dari semua dokumen sejarah yang memuat berita. Ini disebabkan karena sumbernya yang pasti benar, ilmu dan kekuasaannya. Sampai kepada kita melalui metode ilmiah yang paling terpercaya dimana Al-Qurán disampaikan kepada kita dengan jalan mutawatir (diriwayatkan oleh sejumlah besar orang secara turun-temurun). Sehingga menghasilkan ilmu yang qoth’I’(pasti benar). Demikian pula sunnah yang shohih disampaikan kepada kita dengan metode ilmiah yang sangat rinci.

Kedua: petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh sumber-sumber syari’ah berupa ketentuan umum sejarah, “hukum” robbani pandangan komprehensif terhadap sejarah kemanusiaan seluruhnya, sepanjang zaman, masa lampau, sekarang dan masa depan, dapat memberikan kepada peneliti keluasan pandangan yang menyeluruh dalam melihat sejarah dan mendalam dalam menganalisa peristiwa. Hal-hal semacam ini telah menjadi perhatian ulama ahlus sunnah untuk dikumpulkan dan mereka buat bab-bab khusus untuk itu dalam karangan mereka.

Pemahaman Iman yang benar

          Pemerhati historis islam yang tidak mengetahui peran iman dalam kehidupan umat islam, niscaya tidak akan mampu memberikan penilaian ilmiah serta realistis atas peristiwa historis islam.

          Misalnya hijrahnya umat islam dari Makkah ke Madinah adalah hijrah (perpindahan) karena mempertahankan prinsip keimanan yang bagi kaum muslimin, dianggap sebagai motivasi yang mengarahkan individu dan kelompok untuk mencapai masa depan dan mengukir sejarah.

      Perpindahan mereka bukan disebabkan karena tempat tinggal, harta dan kedudukan yang lebih baik. Sebab mereka justru meninggalkan tanah air, harta, posisi dan kesenangan, lari membawa agama menjauhi bencana dan mereka berkomitmen pada aqidah. Dengan demikian, mereka teladan menampilkan sosok keteladanan yang tinggi dalam hal pengorbanan dan keikhlasan dalam menegakkan kalimat Allah.

          Dengan demikian, adalah kesalahan dan ketidakjujuran, mengambil kesimpulan bahwa setiap dinamika historis adalah dari konflik atau tujuan yang bersifat materialistik.

B.       Mengetahui level dan kondisi suatu masyarakat

          Allah Azza wa alla telah berfirman “Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kami tdak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

          Dalam kaitan ini Utsman Bin Affan radhiallohu ’anhu pernah berkomentar : “perhatikanlah posisi setiap orang, berikan kepada mereka apa yang menjadi haknya secara proporsional. Ketahuilah, bahwa dengan tingkat pengenalan terhadap masyarakat akan mewujudkan keadilan”.

          Atas dasar itu, perhatian para ulama ahlus sunnah diarahkan untuk menjelaskan orang-orang yang layak dijadikan sebagai narasumber dalam hal periwayatan historis, dan orang-orang yang tidak layak. Dalam pembahasan mereka, tercatat bab dengan judul ”Bab a-Nahyi ’an al-Riwayat ’an al-Dhuafa’wal ihtiyath fii tahammuliha” (bab tentang larangan meriwayatkan berita dari orang-orang dhaif (lemah) dan berusaha menghindari berita dari mereka). Sebab penilaian orang tidak dapat diterima melainkan dari seorang ahli yang matang, terpercaya, dan jeli melihat hal ihwal kaum muslimin.

C.     Mengetahui batas-batas informasi yang boleh diterima dari sumber-sumber penganut paham/aliran yang memiliki ambisi-ambisi tertentu (ash-habul-ahwa’ wal-firaq).

  Untuk tujuan ini, sebagian ulama menulis karya-karya secara khusus tentang ash-habul-ahwa’ wal-firaq,

          Untuk itu, seorang sejarawan muslim perlu mengenal aliran-aliran dan aqidah mereka. Dengan demikian ia mampu berinteraksi dengan teks-teks yang mereka kemukakan dengan dasar informasi yang terkumpul pada mereka. Untuk kemudian melakukan studi komparatif dengan informasi lain dari sejarawan-sejarawan terkemuka atau ulama yang adil dan terpercaya.

D.    Mengetahui kriteria penggunaan literatur dari kalangan non-muslim.

          Bila dalam disiplin ilmu historis islam dikenal kaedah, prinsip dan rambu-rambu syar’i yang harus dipatuhi oleh seorang sejarawan muslim, maka diantara kaidah itu ialah yang berkaitan dengan kewaspadaan dalam menggunakan sumber-sumber di luar islam sebagai literatur. Mengingat kaum sekuler menggunakan ”kebebasan” menurut versi mereka yang tanpa batas dan rambu-rambu yang mereka dapatkan di Barat atau diTimur dan mereka terapkan pada kajian historis islam.

        

Pendekatan Filologi             Filologi merupakan studi kerohanian dengan menelaah karya sastra atau sumber-sumber tertulis yang biasanya berhubungan dengan aspek bahasa agama. Tampaknya penelitian agama memang tidak dapat dipisahkan dari aspek bahasa, karena manusia adalah makhluk berbahasa sedangkan doktrin agama dipahami, dihayati dan disosialisasikan melalui bahasa. karena di dalam bahasa agama banyak digunakan bahasa simbolik dan metaforik, maka kesalahpahaman untuk menangkap pesan dasarnya mudah terjadi. Jadi Filologi berguna untuk meneliti bahasa, meneliti kajian linguistik, makna kata-kata dan ungkapan terhadap karya sastra.

            Hasil dari studi dengan pendekatan filologis, menurut Adams, adalah sebuah sumber pustaka (literatur) yang dapat menyentuh semua aspek kehidupan dan kesalihan umat Islam. Tidak hanya menjadi rujukan pengetahun Barat tentang Islam dan sejarahnya, filologis juga memainkan peranan penting di dunia Islam. Selain itu, filologi harus turut andil dalam studi Islam. Hal terpenting yang dimiliki oleh mahasiswa Muslim adalah kekayaan literatur klasik seperti sejarah, teologi, dan mistisisme. yang kesemuanya tidak mungkin dipahami tanpa bantuan filologi.

Penelitian agama dengan menggunakan filologi dapat dibagi dalam tiga pendekatan, yaitu metode tafsir, pendekatan filologi terhadap As-Sunnah (Al-Hadits) dan pendekatan filologi terhadap teks, naskah dan kitab (hermeneutika).

1.    Metode Tafsir

Pendekatan filologi terhadap Al-Qur'an adalah pendekatan atau metode tafsir. Metode tafsir merupakan metode tertua dalam pengkajian agama. Sesuai dengan namanya, tafsir berarti penjelasan, pemahaman dan perincian atas kitab suci, sehingga isi pesan kitab suci dapat dipahami sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan.

Secara etimologis, kata tafsir berasal dari bahasa arab, fassara, yang bermakna menerangkan atau menjelaskan. Secara terminologis, tafsir merujuk kepada ilmu yang dengannya pemahaman terhadap kitab yang diturunkan kepada Rasululloh Shollallohu ’Alahi wa Sallam, penjelasan mengenai makna-makna kitab Alloh dan penarikan hukum-hukum beserta hikmahnya diketahui.

Tafsir Al-Qur’an terkait dengan apa yang telah disampaikan, diterangkan dan dijelaskan oleh Rosululloh Shollallohu ’Alahi wa Sallam. Allah berirman; ”Telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) kitab tersebut agar kamu jelaskan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan (Allah) kepada mereka dan agar mereka memikirkannya”. Maksud yang sama juga disebutkan di ayat yang lain. Allah berfirman: ”Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.

Adapun para sahabat mereka menafsirkan al-Qur’an dengan berpegang pada penafsiran yang diberikan oleh Rosululloh. Karna mereka mengetahui asbaab-al-nuzuul (sebab-sebabyang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an). ’Abdullah ibn Mas’ud mengatakan: ”Demi Allah yang tiada Ilah yang haq di sembah kecuali Dia, tidak ada ayat dari kitab Allah melainkan aku lebih mengetahui kepada siapa diturunkan. Seandainya aku tahu seseorang yang lebih mengetahui dari padaku tentang cara-cara yang diterimanya kitab Allah, niscaya aku akan mendatanginya”.

2.    Pendekatan Filologi terhadap As-Sunnah (Al-Hadits)

As-Sunnah secara etimologi berarti tradisi atau perjalanan. Sedangkan al-Hadits secara etimologi berarti ucapan atau pernyataan dan sesuatu yang baru. Dalam arti teknis As-Sunnah (Sunnatur Rasul) identik dengan Al-Hadits.

Selanjutnya dalam penulisan berikutnya memakai istilah Al-Hadits. Sebagaimana halnya Al-Qur'an, Al-Haditspun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap Al-Hadits lebih banyak kemungkinannya dibanding penelitian terhadap Al-Qur'an. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya Al-Qur'an dan Hadits berbeda. Kedatangan (wurud) atau turun (nuzul) nya Al-Qur'an diyakini secara mutawatir berasal dari Allah. Tidak ada satu ayat Al-Qur'an pun diragukan sebagai yang bukan berasal dari Allah Subhanahu Wata’ala. Atas dasar ini maka dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat Al-Qur'an itu berasal dari Allah atau bukan. Hal ini berbeda dengan Al-Hadits. Dari segi datang (al-wurud) nya hadits tidak seluruhnya diyakini berasal dari nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini selain disebabkan sifat dari lafadz-lafadz yang tidak bersifat mu'jizat.

3.    Pendekatan Filologi terhadap Teks, Naskah dan Kitab-Kitab : Hermeneutika

          Hermenutika secara etimologi berasal dari kata kerja hermeneuias artinya menyampaikan berita. Pengertian yang lebih lengkap dinyatakan Stephen WL bahwa hermeneutika adalah Studi of understanding, especially by interpriting action and text. Al-Faroby (w. 339/950), seorang ahli filsafat muslim terkemuka, sangat tepat mengalih bahasakan hermeneuias sebagai al-ibaaroh (pengungkapan). Memang dari sisi etimologi kata hermeneutika jelas bukan berasal dari tradisi pemikiran Islam, kesan adanya suatu upaya peniruan terhadap tradisi Kristen dan filsafat barat sulit dipungkiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN

Sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. periodisasi sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijriyah, periode sejarah kebudayaan Islam dapat dibagi dalam 9 periode, yaitu:

  1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
  2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
  3. Masa Daulah Abbsiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
  4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
  5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
  6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
  7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
  8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
  9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dapat dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:

1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M).

2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).

3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan

4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan zaman kebangkitan Islam.

Adapun dalam kajian teori penelitiannya dibagi menjadi 2, yaitu penelitian history dan fisiologi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Ed. Revisi -11: PT.Raja Grafindo Persada Jakarta Thn. 2007.

Atang Abd.Hakim, Jaih Mubarok, Metodologo Studi Islam, Ed. Revisi -9: PT.Remaja Rosda Karya, Bandung. Mei 2007.

Muhaimin, Abd.Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Ed. I cetakan ke-2 PT.Prenada Media, Jakarta, Juli 2007.

Tadjab, Muhaimin, Abd.Mujib, Dimensi-dimensi Studi Islam, cetakan pertama, PT.Karya Abditama, Surabaya, Agustus 1994.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 57

A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hal. 87-89.

Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1986), hal. 8.

Majdid wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Musthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-adab, (Beirut: Maktab Lubanani, 1984), hal. 82.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1988), hal. 794.

AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Distionary of Current English, (Oxford University Press, 1983), hal. 405





[1] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1986), hal. 8.

[2] Majdid wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Musthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-adab, (Beirut:Maktab Lubanani, 1984), hal. 82.

[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1988), hal. 794.

[4] AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Distionary of Current English, (Oxford University Press, 1983), hal. 405

[5] Nourouzzaman Shiddiqi, Tamadun Muslim, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986), hal. 112

[6] A.Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 58.

[7] Nourouzzaman ash-Shidiqi, Op.cit., hal. 114.

[8] Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal. 12-14.

[9] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hal. 87-89.

[10] Ibid., hal. 117-120..

[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 57.

[12] Muhammad Hamiddullah, Op.cit., hlm. 258..

[13] Harun Nasution, Islam…/ Op.cit.,, hlm.57-58.

[14] Ibid., hlmm. 58.

[15] Harun Nasution, Pembaruan…,Op.cit., hlm. 13.

[16] Harun Nasutio , Islam…Op.cit., hlm. 74-75.

[17] Ibid., hlm. 14.




Leave a Reply.