PERSIAPAN MANUSIA MENGHADAPI MASA DEPAN

Sebuah Pengantar Djamaludin Ancok

Pembahasan

Kalau kita membicarakan masalah kualitas manusia dalam pembangunan, terutama pembangunan masa depan khususnya era industrialisasi. Maka kita akan terlibat pada beberapa aspek diri manusia. Pertama aspek fisik yang berupa tingkat kesehatan tubuh dan kelengkapan anggota tubuh. Kedua, aspek kognitif, dalam hal ini tingkat kecerdasan dan pendidikan. Ketiga, aspek nonkognitif, yaitu kualitas kepribadian dan kualitas moral yang ada pada diri seseorang.

Seseorang tidak bisa menjadi pekerja yang produktif apabila kesehatannya kurang baik, kemampuan kognitifnya tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan, dan kepribadian serta moralnya tidak sejalan dengan kehendak pembangunan.

Tulisan ini tidak membahas semua aspek di atas secara terinci. Yang akan dibahas agak mendalam hanya aspek nonkognitif.

Pembicaraan tentang ciri nonkognitif manusia Indonesia yang diperlukan oleh pembangunan pada era industrialisasi bukanlah masalah mudah untuk dilakukan. Kesulitan yang 
utama yang dihadapi didalam membicarakan masalah ini ialah sedikitnya hasil-hasil penelitian ilmiah yang membahas kualitas manusia dalam kaitannya dengan kemajuan pembangunan di suatu negara.1 Kesulitan yang lain, kita terpaksa harus melihat ciri-ciri manusia pada negara-negara yang telah memasuki masa industrialisasi sebagai pembanding. Hal ini akan memaksakan diri kita untuk beranggapan bahwa industrialisasi yang bakal kita lakukan akan sama bentuknya dengan industrialisasi yang dilakukan oleh negara-negara industi yang sudah maju. Tampaknya hal ini kurang dapat diterima sepenuhnya, karena industrialisasi yang akan dilakukan Indonesia nanti mau tidak mau akan terpengaruh dengan kemajuan-kemajuan yang ada di negara-negara yang sudah maju.

Industrialisasi kita tidak akan mulai dari nol (dari masa revolusi industri) seperti yang dialami oleh negara-negara Barat. Kita akan masuk ke dalam periode industrialisasi yang sudah maju, yang ditandai dengan pemanfaatan komputer pada hampir semua aspek kehidupan. Selain hal itu besar kemungkinan industrialisasi yang bakal kita lakukan tidak menurut pola industrialisasi negara-negara yang sudah maju yang bersifat padat modal (capital intensive). Karena tekanan kepadatan penduduk yang kita alami, kita akan sangat mungkin mengembangkan industri yang lebih bersifat padat karya (labor intensive). Bila ini arah yang akan kita pilih, maka dampak negatif dari industrialisasi yang terlihat di negara-negara yang sudah maju kurang dapat digeneralisasikan ke negara kita.

Karena keterbatasan informasi yang relevan dengan kondisi di Indonesia, penulis terpaksa mengambil informasi yang merupakan ciri-ciri manusia penunjang kemajuan industrialisasi di negara-negara Barat.

Tulisan ini mencoba melihat masalah dari segi psikologi sosial. Pembahasan dimulai dengan melihat ciri-ciri manusia yang sudah memasuki era industrialisasi. Ciri-ciri yang akan dilihat ialah ciri-ciri positif yang kiranya secara teoritik maupun empirik cukup terbukti sebagai ciri yang mendukung industrialisasi. Pembahasan dikaitkan dengan keadaan di Indonesia. Selain itu pembicaraan akan sedikit menyinggung dampak negatif industrialisasi yang terjadi di negara-negara yang sudah maju. Dampak yang akan dilihat hanya dibatasi pada aspek sosial saja, yang selanjutnya dapat dipakai untuk mencari jalan untuk mengatasinya.

Realitas Kondisi Manusia Indonesia 

Bila pada Pelita VI nanti industrialisasi benar-benar menjadi ciri perekonomian kita, maka akan ada beberapa hal yang meyangkut sumber daya manusia yang harus dipersiapkan lebih matang. Industrialisasi menuntut adanya manusia-manusia yang memiliki sifat-sifat tertentu. Tanpa memiliki sifat-sifat itu kemajuan dibidang ekonomi sulit dicapai.

Beberapa sifat yang diperkirakan sangat diperlukan untuk mendukung industrialisasi telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Rostow beranggapan, untuk mendukung kemajuan ekonomi modern diperlukan orang-orang yang mempunyai beberapa keinginan di dalam dirinya. Keinginan yang harus ada ialah: keinginan untuk mengembangkan ilmu-ilmu dasar (fundamental science); keinginan untuk menerapkan ilmu-ilmu dasar tersebut bagi kepentingan ekonomi; keinginan untuk menemukan hal-hal yang baru (inovasi); keinginan untuk mencari kekayaan materi; dan dorongan untuk meliki anak.2

Kalau kita lihat saran Rostow tersebut pada kondisi di Indonesia, belum semuanya tampak pada manusia di Indonesia. Keinginan untuk mengembangkan ilmu-ilmu dasar belum terbina dengan baik. Sebagai contoh, apabila ada seorang peneliti mengajukan usulan proyek penelitian, dan proyek tersebut menyangkut ilmu-ilmu dasar yang belum tampak relevansinya bagi pembangunan, biasanya jarang disetujui oleh sponsor pemberi dana. Walaupun di sana-sini sudah cukup terpupuk keinginan untuk menerapkan ilmu-ilmu dasar ke bidang ekonomi, tampaknya belum merupakan hal yang umum terjadi di Indonesia. Dorongan inovatif belum dipupuk sebagaimana mestinya. Malahan kadang-kadang terjadi pemberangusan kreativitas. Misalnya, beberapa tahun yang lalu di Jawa Timur pernah ada cerita yang menarik yang menyangkut inovasi. Seorang karyawan rendah mencoba menyisihkan sebagian uangnya untuk mewujudkan impiannya menciptakan helikopter. Ketika helikopter mulai dikerjakan, datanglah larangan dari bupati pemerintah daerah yang bersangkutan untuk menghentikan pekerjaan tersebut, karena kuatir akan membahayakan orang lain. Keadaan seperti itu pernah pula menimpa diri seorang siswa yang berniat mengembangkan kemampuan menelitinya di bidang perilaku seksual remaja di Yogyakarta.

Tampaknya dari keinginan-keinginan yang dikemukakan oleh Rostow baru dorongan untuk mencari kekayaan materi dan dorongan untuk memiliki anak yang terpupuk dengan baik. Sifat-sifat lain yang tampaknya menetukan kemajuan ekonomi ke arah imdustrialisasi, dikemukakan oleh Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme. Menurut Weber, kemajuan ekonomi ke arah industrialisasi terjadi karena adanya sifat kerja keras dengan semangat tinggi, sikap hidup hemat, dan kebiasaan menanamkan uang untuk kemajuan ekonomi.3 Di Indonesia sifat-sifat ini belum begitu menonjol. Sifat kerja keras belum merupakan ciri umum pekerja-pekerja Indonesia. Pegawai negeri, misalnya, masih belum menggunakan waktunya untuk melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Para wiraswastawan pribumi umumnya belum mampu menandingi kerja keras wiraswastawan nonpribumi. Orang mungkin bisa mengajukan argumentasi lain. Orang-orang Indonesia sebenarnya cukup mau bekerja keras. Misalnya para pedagang kaki-lima, tukang becak dan sopir mobil penumpang umum terus bertahan walaupun sudah dikejar-kejar petugas. Masalahnya, mereka menjadi malas karena adanya peraturan-peraturan yang mematikan keinginan mereka untuk bekerja.4

Sikap hidup hemat rupa-rupanya belum merupakan pola hidup sebagian orang Indonesia. Walaupun slogan pola hidup sederhana telah dicanangkan sejak beberapa tahun yang lalu, tampaknya masih berupa slogan yang belum dilaksanakan. Masih sering terlihat upacara-upacara mewah yang tentunya akan memakan biaya besar. Pembukaan pabrik-pabrik baru masih dilakukan secara besar-besaran. Hal ini tidak saja hanya menghabiskan biaya yang sangat besar, tetapi juga menghabiskan waktu para teknokrat dan fungsionaris lain yang ikut menghadiri pembukaan tersebut. Kebiasaan untuk mengadakan upacara peresmian ini sudah menular pada proyek-proyek kecil, seperti jembatan, perumahan, dan bangunan kecil. Selain itu banyak pemborosan yang dilakukan oleh banyak orang untuk membeli barang-barang mewah untuk sekadar mengejar status sosial. Dalam hal hidup hemat keadaan masyarakat kita tampaknya sangat berbeda dengan masyarakat di negara-negara yang sudah maju.Orang-orang Jepang dan Belanda, misalnya, adalah orang-orang yang sangat hemat. Walaupun penghasilan mereka sudah tinggi, hidup hemat masih terus mereka pertahankan. Misalnya mereka mendapat bonus diluar penghasilan rutin, mereka akan menabungnya. Bagi orang-orang Indonesia tampaknya tidak demikian. Kalau mereka mendapat penghasilan ekstra, mereka beranggapan itu sebagai rezeki nomplok yang tidak harus ditabung, tetapi harus dihabiskan.5

Sifat-sifat lain yang merupakan ciri manusia yang mendukung pertumbuhan ekonomi adalah ‘dorongan untuk berprestasi’. David C. McClelland di dalam bukunya, The Achieving Society (1961) beranggapan bahwa dorongan berprestasi ini seperti virus yang dapat ditularkan pada setiap diri manusia. Dia menamakan virus N-Ach (need for achievement).6 Menurut McClelland, bangsa-bangsa yang mempunyai dorongan berprestasi yang tinggi akan mampu memajukan perekonomian mereka.

Ciri-ciri Manusia Berprestasi

Ciri-ciri manusia yang memiliki dorongan untuk berprestasi ialah adanya kebiasaan untuk bekerja keras guna meningkatkan prestasi. Bagi mereka didalam bekerja yang menjadi tujuan utama bukanlah keinginan untuk mengejar hal-hal yang ekstrinsik seperti uang, kekayaan, prestise, tetapi tujuan ysng bersifat intrinsik. Mereka akan puas bila dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Perkara hasilnya bagaimana bukanlah hal yang utama bagi mereka. Dorongan untuk berprestasi seperti ini amat menonjol pada orang-orang Jepang. Bagi orang Jepang yang penting bukanlah hasil dari pekerjaan mereka, tetapi bagaimana dia dapat melakukan sesuatu pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Orang Jepang meyebut sikap seperti itu dengan istilah makoto.7

Dorongan berprestasi orang-orang Indonesia tampaknya masih rendah. Hal ini terbukti misalnya dari laporan tentang rendahnya produktivitas tenaga kerja kita yang dikirim ke Timur Tengah. Indikator lainnya ialah banyaknya kasus-kasus korupsi untuk mengejar hal-hal yang ekstrinsik tapi tanpa kerja keras.

Sifat lainnya yang diperlukan di dalam proses pencapaian efisiensi kerja yang kiranya sangat diperlukan di dalam industri ialah adanya kecocokan antara pekerjaan dengan karyawan. Kecocokan ini baru diperoleh bilamana syarat-syarat yang dituntut oleh pekerjaan (minat, bakat, pendidikan, kecerdasan dan kepribadian) dimiliki oleh karyawan. Di Indonesia tampaknya sejauh ini pencarian the right men on the right place belum dilaksanakan semestinya. Penempatan orang-orang pada posisi kerja tertentu seringkali lebih ditentukan oleh apakah orang-orang tersebut anggota famili, kawan dekat, kawan sealiran politik, atau orang yang bersedia membayar uang semir. Demikian pula dengan pemberian modal untuk pengembangan usaha-usaha di sector swasta. Banyak perusahaan swasta yang dikelola oleh keluarga ataupun kenalan baik para pejabat pejabat penguasa. Perusahaan ini berdiri bukan karena keahlian si pengelola di bidang kewiraswastaan, tetapi karena adanya dukungan pihak-pihak penguasa dalam bentuk fasilitas mulai dari pemberian izin usaha sampai ke modal.8 Sifat nepotisme seperti ini amat membayakan bagi kemajuan pembangunan, bilamana orang-orang yang ditempatkan atau yang dibantu tidak memenuhi syarat ysng dituntut oleh pekerjaannya.

Suatu sifat lain yang perlu dibina dalam menghadapi era industrialisasi ialah dengan dorongan afiliasi. Atkinson menggunakan istilah need for affiliation untuk menamakan dorongan tersebut. Yang dimaksud dengan dorongan afiliasi ialah dorongan pada diri manusia untuk membina hubungan yang positif dan afektif dengan orang-orang lain. Orang-orang yang mempunyai dorongan afiliasi yang besar mempunyai ciri-ciri suka bersahabat, penuh kasih sayang, dan punya rasa setia kawan. Dorongan afiliasi kurang mendapat pengembangan di negeri Barat. Karena terlalu menekankan sifat-sifat individualistic dan materialistic, dorongan ini kurang diperhatikan. Bagi orang-orang di negeri Barat dorongan untuk berprestasi (need for achievement) yang diutamakan. Terlalau menekankan dorongan untuk berprestasi tanpa disertai dorongan afiliasi, akan menyebabkan orang-orang menjadi individualistic, kurang memperhatikan kesejahteraan orang lain. Mungkin inilah salah satu sebab industrialisasi di negeri Barat selalu memberikan dampak negatif terhadap hubungan interpersonal. Angka perceraian yang tinggi, angka bunuh diri yang tinggi, dan tingginya frekuensi perlakuan salah terhadap anak (child abuse), adalah beberapa akibat dari perasaan alineasi (keterasingan) yang merupakan efek sampingan industrialisasi. Lahirnya kelompok kepercayaan (cult) yang banyak berkembang di Amerika, kelompok kehidupan baru (commune), hippies, dan generasi obat bius adalah salah satu reaksi dari perasaan alienasi tersebut.

Bagi orang Indonesia pengembangan dorongan afiliasi adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Dasar negara kita menuntut setiap manusia Indonesia untuk lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadinya. Hal yang berkaitan dengan kepentingan pribadi diletakkan dalam kerangka kesadaran akan kewajibannya sebagai makhluk sosial dalam kehidupan masyarakatnya.10 Yang harus dijaga, jangan sampai pembangunan ekonomi kita berakibat semakin melebarnyajurang antara orang kaya dan orang miskin. Pada dasarnya terjadinya hal itu karena dorongan egoistik yang hanya ingin mengejar keuntungan bagi diri mereka sendiri. Mengingat itu, dorongan pembinaan afiliasi penting sekali dilakukan. Orang Jepang tampaknya sangat menekankan dorongan afiliasi ini. Bagi mereka yang dipentingkan bukanlah prestasi diri mereka sendiri, tetapi prestasi kelompok. Sukses yang hanya tertuju pada diri sendiri dianggap egoistik yang imoral. 11 Pembinaan dorongan afiliasi ini juga tampak dalam sistem manajemen yang mereka terapkan. Perusahaan-perusahaan di Jepang banyak yang mempekerjakan karyawan mereka seumur hidup.12

Satu sifat lagi yang harus dimiliki di dalam pembangunan ialah moralitas yang baik. Negara tidak akan cepat pertumbuhan ekonominya apabila digerogoti oleh orang-orang yang tidak bermoral. Ada juga kemungkinan, ekonomi suatu bangsa bukannya berkembang tetapi ambruk oleh tangan-tangan yang tidak bermoral.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa paling sedikit ada beberapa sifat kepribadian yang harus dibina dalam menghadapi era industrialisasi, yaitu sifat-sifat inovatif, dorongan berprestasi, dorongan afiliasi, hemat, dan moralitas yang baik. Tentu saja sifat-sifat juga memiliki tingkat kesehatan fisik yang baik, dan pendidikan yang memadai.

Manusia dan Pembangunan Indonesia

Dalam buku Rencana Pembangunan Lima Tahun IV, Pemerintah merencanakan memanfaatkan jumlah penduduk yang besar sebagai kekuatan pembangunan. Usaha-usaha yang akan dilakukan Pemerintah ialah meningkatkan perluasan lapangan kerja, meningkatkan pengadaan pangan dan mutu gizi, memperluas fasilitas dan memperbaiki mutu pendidikan dan latihan kerja serta menignkatkan kesehatan. Dari usaha tersebut diharapkan dapatr tercipta manusia pembangunan yang tangguh, berbudi luhur, cakap, terampil, percaya pada diri sendiri dan bersemangat membangun (Buku I, halaman 3).

Hal-hal yang dibahas dalam makalah ini tampaknya cukup relevan dengan rencana kerja Pemerintah seperti yang ditulis di dalam buku Repelita IV. Yang menjadi masalah sekarang bagaimana sifat-sifat tersebut harus ditumbuhkan pada masing-masing orang Indonesia. Untuk menjawab hal ini bukanlah hal yang mudah.

Sebuah Penawaran Solusi

Koentjaraningrat mengajukan beberapa cara: (a) dengan memberi contoh yang baik; (b) dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok; (c) dengan persuasi dan penerangan dan (d) dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi baru sejak kecil.13 Menurut Koentjaraningrat, cara pertama dapat dilaksanakan, karena hadirnya sifat orientasi vertical (istilah pop sekarang bapakisme) yang dianut oleh orang-orang Indonesia. Apabila pejabat dapat memberikan contoh yang baik, maka rakyat bawahan akan mengikutinya. Yang menjadi masalah, menurut Koentjaraningrat, bagaimana kalau pejabat-pejabat tersebut tidak memberi contoh yang baik. Menurut pendapat penulis pertanyaan seperti ini memang sulit dijawab. Secara teoritis ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memaksa para pejabat untuk memberi contoh yang baik. Misalnya masalah korupsi dapat diatasi dengan cara-cara yang pernah diajukan oleh beberapa orang lewat media massa seperti kampanye nasional antikorupsi (jika perlu diadakan “safari korupsi”), media massa yang diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengemukakan sinyalemen kasus korupsi para pejabat tanpa kuatir akan diberangus, harta milik pejabat dan keluarga pejabat harus didaftarkan. Namun sejauh ini saran-saran tersebut belum dilaksanakan. Tampaknya tanpa keinginan yang besar dan serius dari Pemerintah, agak sulit untuk mengharapkan para pejabat memberikan contoh yang baik.

Saran-saran yang lain dari Koentjaraningrat tampaknya harus dilaksanakan. Hanya cara-cara untuk melaksanakannya yang harus dicari. Berikut ini cara-cara untuk menumbuhkan sifat-sifat yang diperlukan di dalam usaha memajukan pembangunan.

Membentuk sifat inovatif. Kemampuan untuk mengadakan inovasi sangat tergantung pada potensi yang dimiliki individu dan tersedianya kesempatan. Potensi inovatif seringkali merupakan pembawaan sejak lahir. Usaha-usaha untuk menjaring orang-orang yang potensi intelegensi dan kreativitasnya besar perlu ditingkatkan. Usaha-usaha untuk menjaring oarng yang berpotensi besar ini sudah dilakukan lewat pengembangan proyek anak-anak berbakat (gifted children).

Untuk mereka yang potensi intelegensi tidak terlalu menonjol, nampaknya perlu dibina untuk tertarik ke bidang penelitian. Bila hal ini ingin dilaksanakan, sistem pendidikan kita yang kurang mementingkan penelitian harus diubah dengan sistem pendidikan yang mengutamakan penelitian. Cara pengajaran learning by discovery tampaknya dapat membantu kegairahan untuk meneliti. Selain itu penghargaan-penghargaan yang tidak berwujud uang  perlu diberikan kepada mereka yang berprestasi.

Membentuk dorongan berprestasi. Umumnya para ahli sependapat bahwa cara yang terbaik untuk menumbuhkan dorongan berprestasi ialah melalui pendidikan yang diberikan orang tua. Pola asuhan yang dipakai orang tua di dalam mengasuh anak sangat mempengaruhi perkembangan dorongan berprestasi. McClelland menekankan perlunya anak-anak diberi kesempatan untuk mandiri, memberikan pujian bila anak-anak berhasil mengerjakan suatu tugas. Rosen dan D’Andrale menganjurkan supaya anak-anak diberi latihan yang bisa mendorong untuk berprestasi.14

Untuk meningkatkan dorongan berprestasi anak-anak Indonesia, perlu dikembangkan suatu program pendidikan keluarga tentang bagaimana cara mendidik anak yang dapat menumbuhkan sifat untuk berprestasi. Program ini dapat dilaksanakan lewat PKK, Darma Wanita, Korpri, organisasi swadaya masyarakat (seperti Perkumpulan Kesehatan Jiwa) yang jumlahnya cukup banyak. Selain itu sarana komunikasi TV, radio, Koran, buku dan sarana komunikasi lainnya dapat pula ikut membantu pertumbuhan dorongan untuk berprestasi. Kalau demikian halnya sangat diharapkan buku-buku cerita maupun tontonan di TV, panggung, bioskop dan lain-lain diarahkan pada tema prestasi. Amat disayangkan, pada masa sekarang, film-film yang menekankan kepahlawanan agak kurang jumlahnya. Para produser tampaknya lebih senang membuat film tentang cinta atau tentang kemewahan hidup daripada membuat film-film tentang perjuangan kepahlawanan.

Cara lain yang dapat dipakai untuk meningkatkan dorongan berpresatasi ialah memberikan ajaran agama yang menekankan bahwa bekerja keras adalah salah satu pengabdian kepada Tuhan. Sepengetahuan penulis banyak sekali ayat di dalam Kitab Suci yang berisi anjuran untuk bekerja keras.

Sifat hemat. Sikap hemat terbentuk oleh pendidikan orang tua yang menekankan orientasi ke masa depan. Latihan-latihan tampaknya dapat membentuk sifat ini. Gerakan menabung lewat Tabanas yang dilakukan di sekolah-sekolah sangat berguna bagi melatih hidup hemat ini. Selain itu uang tabungan dapat digunakan untuk dana pembangunan.

Kedisiplinan. Orang bisa disiplin apabila norma-norma pengatur disiplin tidak membingungkan, dan ada kepastian bahwa pelanggaran akan mendapat sanksi. Berkembangnya sifat disiplin bermula dari pola asuhan orang tua. Namun kelangsungan disiplin yang dibentuk oleh orang tua sangat tergantung pada kondisi masyarakat. Pada saat ini salah satu faktor di dalam masyarakat yang sangat merangsang terbentuknya ketidakdisiplinan ialah kondisi lalu-lintas yang tidak teratur. Seringkali orang menjadi bingung tentang kegunaan peraturan lalu-lintas, karena banyak pelanggaran yang tidak diikuti oleh sanksi. Keadaan itu sangat berpengaruh terhadap disiplin secara keseluruhan. Ketidakdisiplinan di jalan dapat digeneralisasikan ke dalam segala aspek kehidupan yang aspek kontrolnya lemah. Keadaan seperti ini makin bertambah parah dengan banyaknya kasus penyalahgunaan jabatan yang tidak diikuti oleh sanksi apapun. Kalau keadaan tetap begini terus, wajar jika ada sikap pesimis bahwa kualitas manusia Indonesia tidak dapat ditingkatkan.

Membentuk dorongan afiliasi. Untuk negara Indonesia dorongan afiliasi sangat perlu dibina mengingat masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Banyak mahasiswa yang dari luar Jawa datang untuk belajar di Jawa. Juga kepadatan penduduk di Jawa menuntut agar sebagian orang di Jawa ditransmigrasikan ke luar Jawa. Tanpa adanya perasaan afeksi, kasih sayang dan kesetiakawanan sebagai warga negara Indonesia, hal-hal yang menuntut pembaruan suku sulit dilaksanakan dengan baik.

Baik orang-orang Indonesia, sementara ini masalah pembauran belum merupakan masalah. Masyarakat kita tergolong masyarakat gotong royong. Tapi saat ini jiwa gotong royong sedikit demi sedikit mulai terkikis. Bila tidak diadakan pembinaan, besar kemungkinan sifat-sifat yang berkaitan dengan dorongan afiliasi akan hilang sama sekali menjelang kita memasuki era industrialisasi.

Menurut kebanyakan ahli psikologi, pembentukan dorongan afiliasi sangat dipengaruhi oleh pola asuhan yang dipakai oleh orang tua di dalam mengasuh anaknya. Anak yang diasuh dengan kasih sayang, diajarkan untuk menolong orang lain, akan menjadi anak yang punya sifat-sifat positif terhadap orang lain.15 Sama halnya dengan pembinaan dorongan berprestasi, dorongan afiliasi dapat dibentuk dengan mengajarkan para orang tua tentang cara-cara mendidik anak agar mempunyai dorongan afiliasi yang tinggi.

Selain itu perlu pula dikembangkan program pembauran antarsuku dengan frekuensi yang lebih banyak. Misalnya lewat acara kumpul bersama Pramuka dari seluruh daerah di Indonesia. Sifat-sifat manusia seperti di atas dan beberapa sifat lainb yang tidak sempat dibicarakan dalam tulisan ini sangat perlu dibina. Yang perlu disadari, bahaya akan mengancam kestabilan negara kita bila kita tidak mampu menciptakan manusia-manusia dengan sifat-sifat demikian. Alasannya dapat diketahui dari uraian berikut.

Manusia yang tidak bermoral, tidak bekerja keras dan egoistik di dalam memangku jabatan adalah orang-orang yang menciptakan perangkap sosial (social traps) baik bagi dirinya maupun orang lain – seperti digambarkan Hardin dalam Tragedy of Commons (1968). Mereka seperti peternak-peternak yang menggembalakan hewan peliharaan di suatu padang rumput milik bersama. Karena dorongan keserakahan, mereka berlomba agar hewan peliharaan mereka berkembang sebanyak-banyaknya. Akhirnya, karena padang rumput kehabisan rumput, matilah hewan-hewan itu.

Indonesia kemungkinan akan mengalami peristiwa seperti yang dilukiskan oleh Hardin, bila orang-orang terus mengambil sebagian dana pembangunan untuk kepentingan pribadi mereka, sementara sumber-sumber dana makin menciut. Menurunnya penghasilan dari minyak bumi menyebabkan dana pembangunan yang diambil dari rakyat yang harus ditingkatkan. Baru-baru ini rakyat kecil sudah terkena pahitnya kenaikan harga minyak tanah, dan sebentar lagi akan dikejar-kejar oleh pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya.

Sangat dikuatirkan frustasi-frustrasi yang bakal terjadi karena biaya-biaya hidup yang makin meningkat, kesulitan mencari pekerjaan, kesulitan mencari sekolah dan lain-lain akan mengubah persepsi rakyat terhadap kesungguhan Pemerintah di dalam membangun. Kalau hal ini sampai terjadi kerusuhan nasional akan mudah terjadi. Paling sedikit demikianlah prediksi beberapa teori agresi. Semoga tidak demikian.

Penutup

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa paling sedikit ada beberapa sifat kepribadian yang harus dibina dalam menghadapi era industrialisasi, yaitu sifat-sifat inovatif, dorongan berprestasi, dorongan afiliasi, hemat, dan moralitas yang baik. Tentu saja sifat-sifat juga memiliki tingkat kesehatan fisik yang baik, dan pendidikan yang memadai.

Berbagai macam solusi ditawarkan oleh banyak pakar salah satunya adalah Koentjaraningrat mengajukan beberapa cara: (a) dengan memberi contoh yang baik; (b) dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok; (c) dengan persuasi dan penerangan dan (d) dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi baru sejak kecil. Begitu juga peningkatan pendidikan yang memadai, sifat inovatif maupun sifat hemat yang tentu seharusnya dapat dikedepankan.

Daftar Pustaka:        

1A. Inkeles, D.H. Smith, Becoming Modern, Cambridge, Harvard University Press, 1974.

2.W.W Rostow, The Process of Economic Growth, New York, Norton, 1950.

3.Lihat R. Brown, Social Psychology, New York, Free Press, 1965.

4.Roepke, “Kewiraswastaan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia,”dalam Koentjaraningrat (ed.), Masalah-masalah Pembangunan, Jakarta LP3ES, 1982.

5.Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, Jakarta, PT Gramedia, 1974.

6.D.McClelland, The Achieving Society, New York, Free Press, 1961.

7.Sayidiman Suyohadiprojo, “Sikap Kesungguh-sungguhan Salah Satu Sumber Jepang,” dalam B.N. Marburn (ed.), Manajemen Jepang, Jakarta, PT Pustaka Binaman Pressindo, 1983.

8.Lihat Roepke, op. cit.

9.J.W.Atkinson (ed.), Motives, Fantasy, Action and Society, Princeton, N.J., Van   Nostrand, 1958.

10.Team Pembinaan Penatar dan Bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia, Bahan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Edisi Pertama, November 1978.

11.G.A.de Vos, Socialization for Achievement: Essays on the Psychology of Japanese, Berkeley, University of California Press, 1973.

12.R.T. Pascale, A.G. Athos, The Art of Japanese Management, New York, Warner Book, Inc, 1981.

13.Lihat Koentjaranigrat, Kebudayaan, Mentalitat,…

14.B.C Rosen, D’Andrale, “The Psychosocial Origin of Achievment Motivation,” Sociometry, 22, 185-218.

15.E. stuob, Positive Social Behaviour and Morality, Vol. 2, New York, Academic Press, 1979




Leave a Reply.