PENDAHULUAN

Masalah hubungan agama dan akhlaq, telah lama menyibukkan para filosof, teolog dan ilmuan-ilmuan akhlaq. Dengan melihat sepintas lalu terhadap tradisi-tradisi sejarah kehidupan manusia, dapat disaksikan keselarasan, kesesuaian, kesatuan ukuran-ukuran, keharusan-keharusan, dan norma-norma akhlaq dengan perintah-perintah agama dalam berbagai masyarakat dan bangsa. Istilah-istilah akhlaq Islam, Yahudi, Masehi, Hindu, dan Budha, merupakan bukti atas apa yang kami ungkapkan di atas. Oleh sebab itu, terkadang hubungan yang dalam di antara dua fenomena ini (agama dan akhlaq) bisa 
melalaikan para peneliti dalam memisahkan pemikiran akhlaq dari dimensi-dimensi lain kehidupan agama.

Pembahasan-pembahasan pemikir dan filosof seperti Sokrates dan Plato yang berdasarkan atas kemandirian dua fenomena agama dan akhlaq, teori pemisahan Karl Marx dan Sigmund Freud, klaim ketidaksesuaian di antara keduanya, dan wacana antara pengikut mazhab ‘adliyyah dan asy’ariyyah tentang kebaikan dan keburukan akal dan syar’i perbuatan-perbuatan manusia, semuanya mengisahkan bahwa masalah agama dan akhlaq ini mempunyai usia dan sejarah yang amat panjang. Mungkin hal ini disebabkan karena agama dan akhlaq senantiasa menyertai manusia sejak awal keberadaannya serta dua fenomena ini timbul dari tabiat dan fitrah manusia.

Jika kita meninjau dengan tinjauan eksternal terhadap perbedaan dan pertikaian di antara pemikir-pemikir dalam masalah hubungan agama dan akhlaq, kita akan mendapatkan bahwa seluruh perbedaan itu berdasarkan pemikiran-pemikiran apriori secara psikologi, sosiologi, antropologi dan filosofi yang dilakukan oleh mereka dalam mengafirmasikan atau menegasikan hubungan ini. Problem utama juga yang bisa kita lihat dalam tulisan-tulisan para pemikir Barat dalam masalah ini, kelompok pemikir ini terkadang mengabstraksikan agama dan akhlaq dengan definisi eksternal dan mengutarakan kebagaimanaan hubungan di antara dua fenomena tersebut yang pada akhirnya, dengan penilaian dan penghukumannya melakukan perbandingan antara akhlaq dan agama-agama. Di samping itu, terkadang kata agama yang mereka maksud adalah agama Masehi, tapi pada posisi pengambilan konklusi mereka menggeneralisasikan pembahasannya pada seluruh agama-agama.

 

I.Definisi serta Inti Hubungan Agama dan Akhlaq

        Pertama kita harus mendefinisikan agama dan akhlaq serta hubungan keduanya, dan dari hubungan dua realitas tersebut kita akan  mengungkapkan bahasan yang lebih mendalam dan lebih detail tentang masalah ini:

a.     Definisi-definisi yang beragam tentang agama telah banyak dipaparkan dalam berbagai tulisan-tulisan yang ada, dan sudah jelas yang dimakud agama dalam hal ini adalah hakikat-hakikat yang disampaikan kepada manusia dari jalan wahyu. Di samping itu untuk memperjelas ruang lingkup bahasan maka agama yang dimaksud dalam masalah teologi kita ini adalah agama Islam. Oleh karena itu, dalam  pembahasan kali ini yang harus dibandingkan, adalah teks-teks agama Islam dengan akhlaq sehingga secara lebih jelas dihasilkan pandangan tentang batasan agama dalam masalah-masalah akhlaq.

b.     Apa yang dimaksud dengan akhlaq? Kata akhlaq, yang bentuk jamaknya adalah “Khulq”,  dalam bahasa Arab bermakna sifat dan malakah nafsâni (sifat dan malakah jiwa), dimana karena efek kondisi jiwa ini manusia melakukan pekerjaan tanpa melalui proses berfikir. Makna leksikal ini meliputi sifat dan perbuatan baik dan juga sifat serta perbuatan buruk. Oleh karena itu akhlaq dibagi atas akhlaq baik dan akhlaq buruk. Meskipun dalam peristilahan, akhlaq mempunyai makna yang bermacam-macam, tetapi kita tidak mengarah pada bentuk pembahasan seperti demikian, karena itu malah akan menjadikan pembahasan kita ini dalam bentuk pembahasan yang lain.

Akhlaq (ethics) merupakan suatu ilmu yang membicarakan sisi-sisi kehidupan manusia yang paling penting. Semua kita manusia menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Apa yang harus kita kerjakan dan apa yang tidak boleh kita lakukan? Apakah kezaliman adalah buruk dan Keadilan adalah baik? Apakah orang tidak boleh berdusta? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mempunyai hubungan dengan prilaku dan perbuatan manusia, pada akhirnya juga menjadi sumber munculnya pertanyaan-pertanyaan yang baru antara lain: Apa yang menjadi ukuran baik dan buruk? Apakah proposisi-proposisi akhlaq mempunyai nilai kebenaran? Apakah akhlaq mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain seperti seni, tarbiyah, agama dan sebagainya? Apakah dapat diambil natijah “harus” dari wujud-wujud? Untuk lebih dalamnya pembicaraan yang kita lakukan maka perlu diungkapakan juga poin-poin yang berhubungan dengan akhlaq yang merupakan fokus dan inti dari permasalahan akhlaq:

1. Deskripsi keyakinan-keyakinan akhlaq

Kelompok qadiyah-qadiyah ini yang terhitung bentuk penelitian eksperimen, deskripsi, sejarah, atau ilmu, telah menjadi bahan  aktivitas penelitian yang dilakukan oleh antropolog, sejarawan, psikolog, dan sosiolog. Tujuan yang ada dalam masalah ini menjelaskan dan mendeskripsikan fenomena akhlaq, proposisi-proposisi akhlaq, dan sistem-sistem akhlaq individu atau masyarakat sehingga dapat ditemukan suatu teori dalam basis tabiat dan fitrah akhlaq manusia.[1]

2. Proposisi-proposisi akhlaq atau ilmu akhlaq

          Proposisi-proposisi ini membicarakan tentang permasalahan baik dan buruk akal, harus dan tidak harus, sifat baik dan buruk, dan sifat mulia serta hina manusia. Kelompok dari masalah-masalah akhlaq yang disebut di atas dikenal dengan akhlaq normatif (Normative Ethics) dan akhlaq derajat pertama (First Order Ethics).

         Perlu kami sebutkan bahwa terdapat dua bentuk hakikat-hakikat akhlaq: pertama, proposisi-proposisi yang predikatnya terbentuk dari komprehensi-komprehensi seperti baik dan buruk; dan kedua, proposisi-proposisi yang predikatnya terbangun dari komprehensi-komprehensi seperti harus dan tidak boleh.

3. Tinjauan filsafat terhadap proposisi-proposisi akhlaq

Pembenaran kaidah-kaidah dan hukum-hukum akhlaq serta penjelasan kegunaan universal nilai-nilai akhlaq, atau dengan kata lain keharusan dan kemestian manusia mengikuti aturan-aturan akhlaq, merupakan pusat perhatian seluruh filosof akhlaq sejak dahulu.

Sebagian filosof mengamati kerugian-kerugian kejiwaan dan kemasyarakatan dari efek perbuatan-perbuatan tidak berkhlak dan prilaku-prilaku yang hipokrit.

Segolongan lain dari filosof mengklaim bahwa untuk menjadikan manusia berakhlaq, tidak boleh sama sekali diungkapkan bentuk dalil yang berdasarkan atas manfaat perorangan. Keputusan manusia untuk berakhlaq, harus berpijak pada penghargaan terhadap pemikiran akhlaq; tanpa membutuhkan pembenaran yang lebih tinggi dari itu. Menurut pandangan para pemikir ini, seruan tugas dan kewajiban merupakan sesuatu yang niscaya dan mutlak.   

Kelompok ketiga dari filosof mengutarakan pandangan bahwa teori-teori metafisika dan agama yag beragam, memiliki pengaruh yang sesuai dengan analisa, penjelasan, dan pembenaran atas keterikatan-keterikatan terhadap kehidupan berakhlaq. Para pemikir ini berargumen bahwa tanpa sebagian dari landasan matafisika atau agama secara minimal maka usaha berakhlaq, adalah tidak bermakna.[2]

Menunjukkan ukuran penilaian universal, dari sisi baik dan buruknya perbuatan serta pembenaran dan pembelaan filsafat dari ungkapan-ungkapan akhlaq manusia, merupakan inti dan asas lain dari akhlaq. Ketika dikatakan ukuran baik dan buruk, kelezatan, kebahagiaan, dan hati nurani selaras dengan kesempurnaan manusia dan dimensi kemuliaan manusia, pada dasarnya ukuran yang dibicarakan adalah ukuran harus dan tidak boleh; dan model pembahasan ini menjadi bahasan ilmu akhlaq dan juga dijelaskan dalam bahasan filsafat akhlaq sebagai landasan penegasan ilmu akhlaq. Teori dan pandangan yang berhubungan dengan parameter akhlaq normatif, secara umum dibagi atas dua bagian: teori teleological (Teleological Theories) dan teori deontologikal (Deontological Theories).

Para pemikir teori teleologikal berpandangan bahwa hukum-hukum akhlaq secara keseluruhan dihasilkan dari efek dan natijah perbuatan. Berasaskan ini mereka menghukumi baik dan buruk atau harus dan tidak bolehnya amal perbuatan. Natijah-natijah perbuatan itu, apakah ia keuntungan perbuatan akhlaq bagi seorang pelaku, ataukah kelezatan dan perkara-perkara lainnya. Yang termasuk wakil dan tokoh dari aliran teori teleologikal ini di antaranya, David Hume dan John Stuart Mill.

Adapun kaum deontologikal berpandangan bahwa benar dan tidak benar atau harus dan tidak bolehnya amal tidak mengandung natijah, tujuan, dan efek dari pada perbuatan; akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa amal itu sendiri mempunyai kekhususan-kekhususan yang menunjukkan baik dan buruk atau harus dan tidak bolehnya amal. Kant dan P. Richard terhitung sebagai tokoh utama dari aliran ini.  

4. Kenyataan Proposisi-proposisi akhlaq         

       Apakah ungkapan-ungkapan akhlaq adalah insyâi (perintah) atau ikhbâri (pemberitaan)? Apakah ia menceritakan realitas dan nafsul amr (fact-itself) ataukah tidak? Dan secara asas, apa nafsul amr dan  mahkî (yang diberitakan) proposisi-proposisi akhlaq? Kelompok masalah-masalah ini mempunyai tempat bahasan dalam epistemologi akhlaq.

5. Pembahasan berhubungan dengan konklusi

        Apakah ungkapan-ungkapan akhlaq, dihasilkan dari proposisi-proposisi bukan akhlaq dan sebaliknya? Dan masalah apakah qadiyah-qadiyah bukan akhlaq dapat melahirkan ungkapan-ungkapan akhlaq, pembahasan ini berhubungan dengan penetapan “harus” dan “tidak boleh” dari “ada” dan “tidak ada”, atau dengan kata lain dengan proposisi yang berhubungan “ada” dan “tidak ada” ditetapkan “harus” dan “tidak boleh”. Kelompok masalah-masalah ini, berhubungan dengan pembahasan kemantiqian akhlaq.

6. Hubungan akhlaq dengan ilmu dan makrifat lainnya

        Kelompok akhir dari masalah-masalah akhlaq,   pembahasan yang berkenaan dengan hubungan akhlaq dengan hakikat-hakikat lain seperti seni, tarbiyah, hak asasi, agama, dan lain-lain. Yakni masalah: apakah akhlaq individu atau masyarakat berpengaruh dalam membangun kebudayaan dan peradaban? Apakah “harus” dan “tidak boleh” akhlaq berhubungan dengan “harus” dan “tidak boleh” (wajib dan haram) agama? Apakah agama  menambah akhlaq atau akhlaq dihasilkan dari agama? Dan masalah-masalah lainnya seperti ini.

        Dari masalah-masalah akhlaq yang disebutkan di atas, masalah keempat sampai masalah keenam dikenal dengan akhlaq analitik, akhlaq intiqâdi (akhlaq kritik), meta akhlaq, dan akhlaq derajat kedua (Second Order Ethics); akhlaq analitik ini tidak  memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan akhlaq dan hukum-hukum normatif; akan tetapi seluruh upaya dia dalam medan pertanyaan-pertanyaan logikal, epistemologi, dan linguistik akhlaq.

Komprehensi Hubungan Akhlaq dan Agama   

        Komprehensi hubungan akhlaq dan agama dapat ditafsirkan dalam dua bentuk: pertama, hubungan kandungan dan proposisi; dengan pengertian bahwa aturan-aturan akhlaq, diistinbatkan dan dihasilkan dengan merujuk pada teks-teks agama, kitab, dan sunnah. Oleh karena itu, dengan murni tinjauan agama, akhlaq tidak akan menjadi sebagai keseluruhan ungkapan-ungkapan yang mengandung “harus” dan “tidak boleh” serta baik dan buruk. Tafsiran kedua adalah hubungan sebagai dasar dan landasan; yakni aturan-aturan akhlaq tidak lahir dari agama, tetapi diperoleh dari sisi fitrah, hati nurani, akal amali, atau wasilah lain yang bukan teks agama. Kendatipun demikian, akan tetapi pengaruh agama, secara khusus akidah agama seperti keyakinan terhadap Tuhan dan hari akhirat, adalah sangat urgen dalam menjamin realisasi aturan-aturan akhlaq. Berdasarkan tafsiran pertama, akhlaq adalah bagian atau identik agama, sedangan tafsiran kedua, akhlaq dan agama satu sama lain adalah mandiri, tetapi agama atau keyakinan agama dianggap sebagai suatu landasan pembenaran proposisi-proposisi akhlaq.

II.Penelitian Tentang Masalah Hubungan Harus dan Ada

Orang-orang yang menerima hubungan antara proposisi-proposisi agama dan akhlaq serta juga deduksi akhlaq dari agama atau agama dari akhlaq, pada hakikatnya mereka juga menerima deduksi logikal “harus” dan “ada” atau pengambilan konklusi “ada” dari “harus”.

Bartly, menyebutkan enam asumsi bagi hubungan logikal antara agama dan akhlaq serta kemungkinan deduksi dan ketidakmungkinan pengambilan natijah dua hakikat tersebut:

1.  Akhlaq menerima deduksi dari agama dan sebaliknya; dalam bentuk ini akhlaq dan agama adalah identik.

2. Akhlaq dapat menerima deduksi dari agama, tapi tidak sebaliknya; dalam bentuk ini akhlaq merupakan bagian dari agama, tetapi tidak seluruhnya.

3.   Agama dapat menerima pengambilan konklusi dari akhlaq, tapi tidak sebaliknya; di sini agama merupakan bagian dari akhlaq. (Dalam tiga asumsi ini, terjadi kesesuaian agama dan akhlaq serta tidak terdapat pertentangan di antara keduanya).

4.  Akhlaq tidak menerima deduksi dari agama; demikian juga agama tidak menerima deduksi dari akhlaq; akan tetapi keduanya ini satu sama lain sesuai dan saling mandiri; keduanya tidak identik serta tidak ada yang menjadi bagian dari yang lainnya.

5.  Akhlaq tidak menerima pengambilan natijah dari agama atau sebaliknya; dan dalam ukuran tertentu terjadi kesesuaian, tapi tidak secara keseluruhan.

6.   Akhlaq dan agama secara keseluruhan tidak sesuai dan satu sama lain saling menolak.[3]

        Secara keseluruhan akhlaq dan agama, adalah saling mandiri secara sempurna dan tidak terjadi sama sekali hubungan deduksi, bagian, dan keseluruhan di antara keduanya atau akhlaq dan agama adalah identik keduanya atau akhlaq merupakan bagian  agama atau agama adalah bagian akhlaq. Dalam bentuk pertama, apakah  agama dan akhlaq secara nisbah keduanya memiliki keselarasan ataukah keduanya secara global mempunyai pertentangan? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kita uraikan terlebih dahulu landasan konsepsi dari pembahasan.  

        Penerimaan deduksi akhlaq dari agama, meniscayakan istinbat “harus” dari “ada”. Ketika dikatakan: “Tuhan memandang baik keadilan, maka dari itu keadilan adalah baik”, pada dasarnya telah terjadi pergerakan dari suatu proposisi agama yang meninjau terhadap realitas dan menjelaskan iradah Tuhan kepada suatu proposisi nilai dan akhlaq; dan ketika dikatakan: “Keadilan adalah baik maka Tuhan menginginkan keadilan”, dalam bentuk ini terjadi perjalanan dari proposisi nilai kepada proposisi agama yang tinjauannya terhadap realitas. Sekarang jika orang seperti Hume tidak menerima pergerakan dari “ada” kepada “harus” dan perjalanan dari “harus” kepada “ada”, memestikan terjadinya pertentangan terhadap seluruh deduksi dan pengambilan natijah ini. Tapi dalam bentuk pandangan dan ungkapan Hume tidak diterima, atau minimal dipandang bisa terjadi pengambilan natijah proposisi-proposisi nilai dari dua premis yang tersusun dari proposisi deskripsi dan proposisi nilai maka tidak ada isykal sama sekali atas deduksi dan pengambilan konklusi tersebut.

        Sekarang setelah jelas dua bentuk komprehensi ini, yaitu komprehensi agama dan akhlaq serta hubungan keduanya, perhatian harus diarahkan pada jawaban terhadap masalah hubungan agama dan akhlaq, dimana dalam hal ini penentuan ukuran dan parameter akhlaq akan menjadi sumber jawaban yang berbeda-beda. Dengan makna bahwa jika akhlaq berdasarkan prinsip kelezatan atau prinsip manfaat atau nurani dan akal amali atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat, mungkin akhlaq dengan agama diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk landasan; dan jika ukuran proposisi-proposisi akhlaq adalah kedekatan dengan Tuhan, dengan memperhatikan ketiadaan pengetahuan sempurna manusia terhadap kedekatan dan kedudukan Tuhan maka hubungan antara akhlaq dan agama merupakan hubungan kandungan dan qadiyah.

III.Teori dan Pandangan Pemikir Barat         

        Komprehensi dan proposisi akhlaq, sebelum renesains di Eropa, menerima deduksi dari agama; dan ia juga mendapatkan warna dari filsafat Plato dan Aristo. Abad 18, dengan terbitnya zaman pencerahan, pemikiran deisty, makrifat Tuhan tabii serta ateisme mendapatkan penyebaran, dan akal yang menjadi sumber rujukan dinisbahkan pada  dimensi yang bermacam-macam dalam kemasyarakatan dan akhlaq, membuat medan sempit untuk agama yang pada akhirnya memisahkan akhlaq dari agama. Berikut ini paparan singkat kami terhadap sebagian pandangan pemikir Barat dalam hal ini:

1. Teori deduksi agama dari akhlaq

        Sokrates dalam suatu dialog memperbincangkan tentang hubungan agama dan keadilan dan mengungkapkan pandangan deduksi agama dari akhlaq dan keberadaan agama yang partikuler dinisbahkan terhadap akhlaq. Sokrates meyakini bahwa keadilan mempunyai wilayah yang lebih luas dari religius dan religius adalah bagian dari keadilan. [4]Teori ini menjadi kurang dan tidak sempurna dinisbahkan dengan Islam yang meliputi wilayah luas dari pemikiran akidah, akhlaq, dan amal.

2. Teori perintah Tuhan (Divine Command Theory)

        Sebagian dari filosof ketuhanan Barat seperti Robert Adams memiliki kesamaan dengan aliran asy’ariyyah dalam Islam, berpandangan bahwa sumber dari proposisi-proposisi akhlaq adalah Tuhan dan wusul pada hakikat-hakikat akhlaq dari sisi akal dan syuhud adalah tidak sempurna. Robert Adams, dalam berhadapan dengan isykal yang menyatakan bahwa hanya dengan menegasikan kezaliman dari Tuhan kita telah mengakui prinsip dan kaidah mandiri akhlaq dari Tuhan, menjawab bahwa kemestian seperti ini tidak dharuri; sebab kita tidak hanya beriman pada Tuhan murni; akan tetapi kita juga meyakini Tuhan yang kasih dan cinta terhadap  spesies manusia. Berasaskan ini maka mustahil keluar kazaliman dari Tuhan. [5]Menurut pandangan kami. Kritik-kritik yang berkenaan dengan kebaikan dan keburukan yang ditujukan atas Asy’ariyyah, juga masuk atas teori perintah Tuhan ini.

3. Teori kemandirian agama dan akhlaq   

        Kant, filosof Jerman abad ke 18, memperkenalkan agama dan akhlaq sebagai dua fenomena yang terpisah dan mandiri. Ia dengan

pandangannya tentang pengetahuan rasional bagi parameter dan ukuran akhlaq, menegaskan kemandirian tanggung jawab akhlaq serta menguatkannya berdasarkan perintah-perintah akal dan nurani. Namun untuk memberi makna terhadap usaha-usaha akhlaq manusia, ia juga menekankan tentang tuntutan keyakinann kepada Tuhan. Oleh karena itu, menurut keyakinan Kant, manusia dalam mengetahui tanggung jawab akhlaq tidak butuh kepada agama dan Tuhan, serta untuk mendapatkan motivasi pengamalan tanggung jawab tidak butuh terhadap agama; bahkan menurut ia akhlaq dengan anugerah akal murni amali, sudah cukup mengetahui tanggung jawabnya dan tidak butuh pada yang lain sebagai motivasi pengamalan. Manurut pandangan Kant, akhlaq tidak memestikan agama dan manusia untuk mengetahui tanggung jawab dirinya, tidak butuh kepada konsepsi Tuhan. Penggerak akhir perbuatan akhlaq, adalah tanggung jawab itu sendiri secara dzat, bukan ketaatan pada hukum-hukum Tuhan; namun pada saat yang sama, akhlaq merealisasikan agama. Ia, sesudah menetapkan akhlaq lewat akal amali, mau tidak mau harus menerima keberadaan ikhtiyar manusia, keabadian jiwa, dan wujud Tuhan sebagai postulat-postulat akal amali.[6]  

        Penerimaan kebaikan dan keburukan dzati serta pendekatan filosof Islam berhubungan dengan akhlaq, menerima pandangan Kant dalam maqam afirmatif; akan tetapi tidak menerima pandangan Kant dalam maqam pembuktian, kasyf, wijdâni (nurani), dan aqlâni (rasional) manusia berhubungan dengan kebaikan dan keburukan.

4. Akhlaq tanpa Agama    

          Akhlaq sekuler dan akhlaq tanpa agama, merupakan motif lain dari pandangan filosof akhlaq Barat yang muncul diakibatkan pertentangan ilmu dan agama Masehi atau ketidaksesuaian doktrin-doktrin Masehi dengan akhlaq. Motif ini bercabang menjadi dua kelompok: Kelompok yang kendatipun menafikan agama, tetap berusaha menjaga secara relativ akhlaq. Kelompok kedua menerima agama dan akhlaq, tetapi menghukumi kebebasan dan keterpisahan wilayah keduanya. Dalam kitab “Tars wa Larz”, di samping dijelaskan tentang kisah Nabi Ibrahim As dan penyembelihan Nabi Ishak As (menurut keyakinan Yahudi), juga kisah ini diperkenalkan sebagai misdak dari pertentangan agama dengan undang-undang akhlaq;[7] penulis lalai bahwa perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim As, dinisbahkan pada penyembelihan Nabi Ishak As (versi Islam nabi Ismail As), bukan perkara nyata, tetapi perkara ujian bagi kedua Nabi Tuhan tersebut, oleh karena itu tidak ada pertentangan dengan akhlaq.

        Karl Marx yang memandang agama sebagai penopang lapisan masyarakat borjuis dan kelompok penguasa, pada akhirnya memperkenalkan agama bertentangan dengan akhlaq dan perjanjian akhlaq. Demikian juga Freud dalam kitab “Âyandeh-e Yek Pendâr”, meyakini bahwa agama melemahkan perjanjian akhlaq. Pandangan kedua orang ini juga lahir dari pengetahuan mereka terhadap agama Masehi abad pertengahan; suatu pandangan yang tidak selaras dengan agama Islam murni.  [8]

        Menurut pandangan kami, di samping lemahnya dalil dan argumen pengikut pandangan ini, akhlaq sekuler juga mempunyai problem yang bermacam-macam, di antaranya: pertama, akhlaq sekuler menjatuhkan manusia pada egoisme dan individualisme dan pribadi sekuler membenarkan prilaku tidak memandang penting kebahagiaan orang lain; kedua, jika akhlaq tidak mempunyai akar dalam agama, tidak tersisa lagi cara untuk menyingkap nilai-nilai akhlaq, sebab penyaksian dan fitrah manusia dalam menyingkap prilaku akhlaq, terperangkap dengan pertentangan; ketiga, jaminan perealisasian akhlaq dapat terwujud hanya dengan keyakinan dan iman terhadap Tuhan dan kehidupan akhirat. 

         

PENUTUP

KESIMPULAN

Definisi-definisi yang beragam tentang agama telah banyak dipaparkan dalam berbagai tulisan-tulisan yang ada, dan sudah jelas yang dimakud agama dalam hal ini adalah hakikat-hakikat yang disampaikan kepada manusia dari jalan wahyu

Akhlaq (ethics) merupakan suatu ilmu yang membicarakan sisi-sisi kehidupan manusia yang paling penting.

Penerimaan deduksi akhlaq dari agama, meniscayakan istinbat “harus” dari “ada”. Penerimaan kebaikan dan keburukan dzati serta pendekatan filosof Islam berhubungan dengan akhlaq, menerima pandangan Kant dalam maqam afirmatif; akan tetapi tidak menerima pandangan Kant dalam maqam pembuktian, kasyf, wijdâni (nurani), dan aqlâni (rasional) manusia berhubungan dengan kebaikan dan keburukan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

William Franka, Falsafeh Akhlaq, Penerjemah: Hâdi Shâdiqi, Hal. 25.

 Mircâ Ilyâdeh, Farhang wa Din, Hal. 13-14.

 William Bartly, Akhlaq wa Din, Penerjemah: Zahra KHazâi, Hal. 2.

  Romano, Marg-e Sokrat, Terjemahan: Muhammad Husain Luthfi, Hal. 49-50.

Robert M. Adams, Ethics and Commands of God in Fhilosophy of Religion, p.72.

Frederick Kapileston, Tarikh Falsafeh, Terjemahan: Ismail Sa’adat, Hal. 349.

William Bartly, Akhlaq wa Din, Penerjemah: Zahra Khazai, Hal. 56-58.

Mircâ Ilyâdeh, Farhang wa Din, Hal. 23.



[1] William Franka, Falsafeh Akhlaq, Penerjemah: Hâdi Shâdiqi, Hal. 25


[2] Mircâ Ilyâdeh, Farhang wa Din, Hal. 13-14.


[3] William Bartly, Akhlaq wa Din, Penerjemah: Zahra KHazâi, Hal. 2.


[4] Romano, Marg-e Sokrat, Terjemahan: Muhammad Husain Luthfi, Hal. 49-50.


[5] Robert M. Adams, Ethics and Commands of God in Fhilosophy of Religion, p.72


[6] Frederick Kapileston, Tarikh Falsafeh, Terjemahan: Ismail Sa’adat, Hal. 349.


[7] William Bartly, Akhlaq wa Din, Penerjemah: Zahra Khazai, Hal. 56-58


[8] Mircâ Ilyâdeh, Farhang wa Din, Hal. 23.




Leave a Reply.