PENDAHULUAN

 Manusia sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa komponen sistem yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang antara satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi dalam satu integritas yang kuat. Di sini manusia dipandang terdiri atas dua unsur kemanusiaan yaitu komponen psikologis dan fisiologis atau komponen rohani dan jasmani.

Pentingnya upaya merekonstruksi sistem pendidikan Islam dalam rangka 
peningkatan kualitas sumber daya manusia, disebabkan media pendidikan merupakan piranti yang paling ampuh dan efektif dalam mewarnai peradaban dan kepribadian manusia. Oleh karena itu landasan filosofis dalam sistem pendidikan sangat menentukan arah dan tujuan pendidikan pada suatu bangsa dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia.

PEMBAHASAN

Pengertian manusia menurut Al Quran

Secara terminologis, ungkapan al-Qur’an untuk menunjukkan konsep manusia terdiri atas tiga kategori, yaitu: a) al-insan, al-in’s, unas, al-nas, anasiy dan insiy; b) al-basyar; dan; c) bani ²dam “anak ²dam ” dan §urriyyat ²dam “keturunan ²dam ”.11 Menurut M. Dawam Raharjo istilah manusia yang diungkapkan dalam al -Qur’an seperti basyar, insan, unas, insiy, ‘imru, rajul atau yang mengandung pengertian perempuan seperti imra’ah, nisa’ atau niswah atau dalam ciri personalitas, seperti al-atqa, al-abrar, atau ulul-albab, juga sebagai bagian kelompok sosial seperti al-asyqa, dzul-qurba, al-dhu’afa atau al-musta«’af-n yang semuanya mengandung petunjuk sebagai manusia dalam hakekatnya dan manusia dalam bentuk kongkrit.12 Meskipun demikian untuk memahami secara mendasar dan pada umumnya ada tiga kata yang sering digunakan Al-Qur’an untuk merujuk kepada arti manusia, yaitu insan atau ins atau al-nas atau unas, dan kata basyar serta kata bani ²dam atau §urriyat ²dam . [1]

Meskipun ketiga kata tersebut menunjukkan pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut:

a. Penamaan manusia dengan kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat.[2] Secara etimologi al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibanding rambut atau bulunya.[3] Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi bulu atau rambut.

Al-Basyar, juga dapat diartikan mulasamah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan. Makna etimologi dapat dipahami adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukan kata al-basyar ditujukan Allah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, termasuk eksistensi Nabi dan Rasul.[4] Eksistensinya memiliki kesamaan dengan manusia pada umumnya, akan tetapi juga memiliki titik perbedaan khusus bila dibanding dengan manusia lainnya.

Adapun titik perbedaan tersebut dinyatakan al-Qur’an dengan adanya wahyu dan tugas kenabian yang disandang para Nabi dan Rasul. Sedangkan aspek yang lainnya dari mereka adalah kesamaan dengan manusia lainnya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan wahyu. Firman Allah swt.

Artinya :

Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang pada umumnya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan basyarah karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang lainnya. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan 1 kali dalam bentuk mu£anna (dual) untuk menunjukkan manusia dari aspek lahiriah serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.[5]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian manusia dengan menggunakan kata basyar, artinya anak keturunan ²dam banu ²dam , mahkluk fisik atau biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang menyebut pengertian basyar mencakup anak keturunan ²dam secara keseluruhan. [6] Al-Basyar mengandung pengertian bahwa manusia akan berketurunan yaitu mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa sunnatullah (sosial kemasyarakatan), maupun takdir Allah (hukum alam). Semuanya itu merupakan konsekuensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk itu, Allah swt. memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhal³fahannya di muka bumi.

b. Adapun penamaan manusia dengan kata al-insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Menurut Quraish Shihab, manusia dalam al-Qur’an disebut dengan al-Insan. Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (yang berarti lupa), atau nasa-yansu (yang berarti bergoncang). Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitas, jiwa dan raga. Manusia berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasannya.[7]

Adapun kata al-Insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang dimilikinya, mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan istimewa sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khal³fah Allah di muka bumi.

Perpaduan antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan dan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, dan lain sebagainya. Dengan kemampuan ini, manusia akan mampu mengemban amanah Allah di muka bumi secara utuh, yakni akan dapat membentuk dan mengembangkan diri dan komunitasnya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang memiliki nuansa Ilahiah dan hanif. Integritas ini akan tergambar pada nilai-nilai iman dan bentuk amaliahnya. Dengan kemampuan ini,. Namun demikian, manusia sering lalai bahkan melupakan nilai-nilai insaniah yang dimilikinya dengan berbuat berbagai bentuk mafsadah (kerusakan) di muka bumi.

Kata al-insan juga digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan proses kejadian manusia sesudah ²dam. Kejadiannya mengalami proses yang bertahap secara dinamis dan sempurna di dalam di dalam rahim. (QS. al-Nahl (16): 78; QS. al-Mukmin-n (23): 12-14. Penggunaan kata al-insan dalam ayat ini mengandung dua makna, yaitu: Pertama, makna proses biologis, yaitu berasal dari saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia sampai pada proses pembuahan. Kedua, makna proses psikologis (pendekatan spiritual), yaitu proses ditiupkan ruh-Nya pada diri manusia, berikut berbagai potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia.

Makna pertama mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya merupakan dinamis yang berproses dan tidak lepas dari pengaruh alam serta kebutuhan yang menyangkut dengannya. Keduanya saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Sedangkan makna kedua mengisyaratkan bahwa, ketika manusia tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan materi dan berupaya untuk memenuhinya, manusia juga dituntut untuk sadar dan tidak melupakan tujuan akhirnya, yaitu kebutuhan immateri (spiritual). Untuk itu manusia diperintahkan untuk senantiasa mengarahkan seluruh aspek amaliahnya pada realitas ketundukan pada Allah, tanpa batas, tanpa cacat, dan tanpa akhir. Sikap yang demikian akan mendorong dan menjadikannya untuk cenderung berbuat kebaikan dan ketundukan pada ajaran Tuhannya.

Menurut Aisyah Bintu Syati, bahwa term al-insan yang terdapat dalam al-Qur’an menunjukkan kepada ketinggian derajat manusia yang membuatnya layak menjadi khal³fah di bumi dan mampu memikul beban berat dan aktif (tugas keagamaan) dan amanah kehidupan. Hanya manusialah yang dibekali keistimewaan ilmu (punya ilmu pengetahuan), al-bayan (pandai bicara), al-‘aql (mampu berpikir), al-tamyiz (mampu menerapkan dan mengambil keputusan) sehingga siap menghadapi ujian, memilih yang baik, mengatasi kesesatan dan berbagai persoalan hidup yang mengakibatkan kedudukan dan derajatnya lebih dari derajat dan martabat berbagai organisme dan makhluk-makhluk lainnya.[8]

c. Kata al-Nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat.27 Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk hidup dan sosial, secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya.28 Kata al-Nas dipakai al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas) untuk mengembangkan kehidupannya.[9]

Dalam menunjuk makna manusia, kata al-nas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-Insan. Keumumannya tersebut dapat di lihat dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-Nas menunjuk manusia sebagai makhluk sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan mafsadah dan pengisi neraka, di samping iblis. Hal ini terlihat pada firman Allah QS. al-Baqarah (2): 24.

Terjemahnya:

Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.

Manusia merupakan satu hakekat yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (ruh, jiwa, akal dan sebagainya). Itulah Tuhan yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Dialah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan memulai menciptakan manusia dari segumpal tanah, dan Dia ciptakan keturunannya dari jenis saripati berupa air yang hina, lalu Dia sempurnakan penciptaannya, kemudian Dia tiupkan ke dalam tubuhnya ruh (ciptaan) Nya, dan Dia ciptakan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, namun kamu sedikit sekali bersyukur” (QS. al-Sajadah, 32: 6-9). Unsur jasad akan hancur dengan kematian, sedangkan unsur jiwa akan tetap dan bangkit kembali pada hari kiamat. “Manusia itu bertanya, siapa pula yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang sudah hancur itu? Katakanlah, yang menghidupkannya adalah (Tuhan) yang telah menghidupkannya untuk pertama kali, dan Dia Maha Mengetahui akan setiap ciptaan” (QS. Yas³n, 36: 78-79).

Manusia adalah makhluk yang mulia, bahkan lebih mulia dari malaikat. Setelah Allah menciptakan manusia, Allah memerintahkan semua malaikat untuk memberi hormat sebagai tanda memuliakannya. “Maka ketika telah Aku sempurnakan ia dan Aku tiupkan ruh kepadanya, maka beri hormatlah kepadanya dengan bersujud” (QS. al-Hijr, 15: 29). Kemudian, Kemuliaan manusia ditegaskan dengan jelas, “Sesungguhnya kami telah muliakan anak ²dam, dan Kami angkat mereka dari di darat dan di laut, dan Kami beri rezeki mereka dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan mahkluk kami” (QS. al-Isra’, 17: 70).

Manusia pada dasarnya mempunyai sifat fitrah. Konsep fitrah menunjukkan bahwa manusia membawa sifat dasar kebajikan dengan potensi iman (kepercayaan) terhadap keesaan Allah (tauhid). Sifat dasar atau fitrah yang terdiri dari potensi tauhid itu menjadi landasan semua kebajikan dalam perilaku manusia. Dengan kata lain, manusia diciptakan Allah dengan sifat dasar baik berlandaskan tauhid. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak ²dam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian dari jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi ...” (QS. al-A’raf, 7: 172).

Manusia sebagai hamba Allah telah diposisikan sebagai khal³fah di muka bumi ini31 sebagai wakil Tuhan dalam mengatur dan memakmurkan kehidupan di planet ini. Dengan demikian manusia oleh Allah di samping dianggap mampu untuk melaksanakan misi ini, juga dipercaya dapat melakukan dengan baik. Dalam kehidupan ini manusia telah dibekali dengan berbagai potensi diri atau fitrah untuk dikembangkan dalam proses pendidikan. Dengan pengembangan diri itu dia akan mempunyai kemampuan beradaptasi dengan konteks lingkungannya dan memberdayakannya sehingga lingkungannya dapat memberikan support bagi kehidupannya.

Dengan demikian, makna manusia dalam al-Qur’an dengan istilah al-basyar, al-insan, al-nas dan bani ²dam mencerminkan karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah terhadap makhluk manusia, bukan saja sebagai makhluk biologis dan psikologis melainkan juga sebagai makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk bermoral serta makhluk kultural yang kesemuanya mencerminkan kelebihan dan keistimewaan manusia daripada makhluk-makhluk Tuhan lainnya.[10]

Fungsi Manusia

Manusia Sebagai Khalifatullah

Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.

Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi? Dan bagaimanakah manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30)

Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.

Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.

Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.

Pada hakikatnya, kita menjadi khalifatullah secara resmi adalah dimulai pada usia akil baligh sampai kita dipanggil kembali oleh Allah. Manusia diciptakan oleh Allah di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Lantas, apakah manusia ketika berada di dalam rahim ibunya tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba? Apakah janin yang berada di dalam rahim itu tidak beribadah?

Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah. Disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:

Yushabbihu lillahi ma fissamawati wama fil ardh.

Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”

Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya.

Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan.

Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:

Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa li ya’budu.

“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”

Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.

Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang paling banyak dilakukan dalam keseharian kita. Dalam kondisi tertentu, ibadah ghairu mahdhah harus didahulukan daripada ibadah mahdhah. Nabi mengatakan, jika kita akan shalat, sedangkan di depan kita sudah tersedia makanan, maka dahulukanlah untuk makan, kemudian barulah melakukan shalat. Hal ini dapat kita pahami, bahwa jika makanan sudah tersedia, lalu kita mendahulukan shalat, maka dikhawatirkan shalat yang kita lakukan tersebut menjadi tidak khusyu’, karena ketika shalat tersebut kita selalu mengingat makanan yang sudah tersedia tersebut, apalagi perut kita memang sedang lapar.[11]

Tujuan Ibadah

Tujuan ibadah ada dua (baik itu ibadah mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah). Pertama, untuk mencapai kesenangan hidup di dunia. Kedua, untuk mencapai ketenangan hidup di akhirat. Atau secara sederhananya yaitu untuk mencapai kesenangan dan ketenangan dunia dan akhirat. Berbagai macam kesenangan dunia kita lakukan tak lain adalah untuk meraih kesenangan dan ketenangan akhirat. Misalkan bekerja. Dengan bekerja, maka seseorang akan mendapatkan uang. Dengan uangnya tersebut, maka ia akan mendapatkan kesenangan dunia, dan juga akan semakin memudahkannya untuk melakukan ibadah mahdhah, misalkan berzakat ataupun menunaikan ibadah haji.

Ibadah itu pada hakikatnya dalam rangka tiga hal:

Pertama, membina diri dengan baik.

Jika orang beribadah, tapi dirinya tidak terbina, sebenarnya ia belum mencapai tujuan itu. Misalkan, dia sering datang ke pengajian, tapi sifatnya tetap saja tidak pernah berubah. Ini berarti, bahwa dia menyimpang dari tujuan ibadah.

Mendidik dirinya itu adalah dalam rangka membina hubungan dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan Penciptanya. Jadi, kalau kita mendengarkan pengajian, dan pengajian itu adalah ibadah, maka seharusnya pembinaan diri tersebut menjadi meningkat. Misalkan, kita mengetahui bahwa minuman yang memabukkan itu diharamkan oleh agama, yang hal tersebut kita ketahui setelah mendengarkan ceramah agama. Namun setelah itu, ternyata kita tetap mengkonsumsi minuman yang memabukkan tersebut. Jika seperti ini, berarti kita belum sempurna membina diri kita dalam rangka mencapai ibadah.

Kedua, dalam rangka mensucikan diri kita.

Mensucikan diri yang dimaksud adalah: Pertama, mensucikan diri dari sifat-sifat yang kotor. Kedua, mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan kotor. Sifat kotor akan mendorong kita melakukan perbuatan-perbuatan kotor. Makanya, perbuatan kotor itu kita minimalkan, bahkan kita hilangkan dari diri kita sendiri. Ketiga, membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa. Jika kita pernah melakukan perbuatan dosa, maka kemudian kita bertobat kepada Allah dan beristighfar. Itulah tujuan dari ibadah yang kita lakukan.

Ketiga, mengisi diri dengan sifat yang terpuji, mengisi diri dengan perbuatan baik, dan mengisi diri dengan perbuatan yang berpahala.

Kalau begitu, sasaran ibadah itu pada hakikatnya adalah untuk membina diri, mensucikan diri, dan mengisi diri. Di dalam kehidupan kita sebagai khalifah Allah, maka ada dua hal yang harus kita perhatikan. Pertama, ada yang harus dijaga. Kedua, ada yang harus dihindari.

Yang harus dijaga tersebut ada empat hal: Pertama, menjaga hubungan baik dengan diri sendiri. Kedua, menjaga hubungan dengan sesama manusia. Ketiga, menjaga hubungan dengan lingkungan. Keempat, menjaga hubungan dengan Allah.

Yang harus dihindari tersebut juga ada empat hal, yaitu: penzaliman terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap lingkungan, dan terhadap Allah.[12]

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Manusia adalah mahluk Allah yang paling mulia,di dalam Al-qur’an banyak sekali ayat-ayat Allah yang memulyakan manusia dibandingkan dengan mahluk yang lainnya.Dan dengan adanya ciri-ciri dan sifat-sifat utama yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia menjadikannya makhluk yang terpilih diantara lainnya memegang gelar sebagai khalifah di muka bumi untuk dapat meneruskan,melestarikan,dan memanfaatkan segala apa yang telah Allah ciptakan di alam ini dengan sebaik-baiknya.

Tugas utama manusia adalah beribadah (لِيَعْبُدُونِ )kepada Allah SWT.Semua ibadah yang kita lakukan dengan bentuk beraneka ragam itu akan kembali kepada kita dan bukan untuk siapa-siapa.Patuh kepada Allah SWT,menjadi khalifah,melaksanakan ibadah,dan hal-hal lainnya dari hal besar sampai hal kecil yang termasuk ibadah adalah bukan sesuatu yang ringan yang bisa dikerjakan dengan cara bermain-main terlebih apabila seseorang sampai mengingkarinya.Perlu usaha yang keras,dan semangat yang kuat ketika keimanan dalam hati melemah,dan pertanggungjawaban yang besar dari diri kita kelak di hari Pembalasan nanti atas segala apa yang telah kita lakukan di dunia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000).

Fu’ad, Muhammad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Kar³m, (Qahirah : Dar al-Had³ts, 1988.

Raharjo, Dawam, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an ( Yogyakarta : LPPI, 1999).

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung : Mizan, 1998)

Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif al-Qur-an terj. Ali Zawawi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)

Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Cet. I. Yogyakarta: LESFI, 199

[1] Lihat, Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000), h. 5


[2] Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Kar³m, (Qahirah : Dar al-Had³ts, 1988), h. 153-15   


[3] Lihat Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an ( Yogyakarta : LPPI, 1999), h. 18.


[4] Di antaranya lihat, QS. H-d (11): 2. QS. Y-suf (12): 96. QS. al-Kahfi (18): 110. QS. al-Furqan (25): 48. QS. Saba’ (34): 28. QS. al-Ahqaf (46): 12  


[5] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung : Mizan, 1998) h. 277  


[6] Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif al-Qur-an terj. Ali Zawawi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 1-2.  


[7] M. Quraish Shihab, op. cit., h. 280  


[8] ibid h. 294


[9] Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Cet. I. Yogyakarta: LESFI, 1992), h. 25  


[10] Ibid. hal 37


[11] M. Quraish Shihab, op. cit., h. 315


[12] Ibid. hal 323




Leave a Reply.