PENDAHULUAN

Dalam konteks keindonesiaan dewasa ini wacana tentang pemahaman terhadap Islam mengalami polarisasi-polarisasi tertentu. Namun, setidaknya terdapat dua pola yang terlihat dalam posisi berhadapan dan saling tarik menarik. Pola pertama, mengetengahkan akan sisi Islam yang plural dan hampir dapat dikatakan melihat berbagai dimensi keagamaan dengan perspektif relatifitas atau dengan istilah populer Islam liberal. Sementara pola kedua, sangat terkungkung dengan 
teks-teks keagamaan dan mendakwakan bahwa semata-semata taat terhadap teks masih berada pada jalan yang benar atau Islam fundamental. Kendati tidak untuk terjebak dalam pendefinisian kedua poros tersebut, tapi setidaknya dari kecenderungan-kecenderungan realitas dalam pemahaman keduanya.

Fenomena kedua mazhab di atas merupakan satu bentuk hasil dari kerja olah pikir dalam memahami dan memberikan makna terhadap teks-teks kitan suci maupun maupun Hadis. Al-Qur’an memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap eksistensi akal sebagai media untuk melakukan eksplorasi pemikiran secara serius dalam agama (ijtihad). Dalam berbagai redaksi pengakuan dan motivasi supaya terus berkreasi menggunakan daya fakir seperti afala tafakrun(apakah kamu tidak berfikir), afala tadabarrun (apakah kamu tidak memahami), dan lain-lain. Satu hal yang tentu tidak bisa dihindarkan bahwa keduanya tentu memiliki plus dan minus.[1]

PEMBAHASAN

Islam Liberal

Istilah Islam Liberal disusun dari dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Islam maksudnya adalah agama Islam, yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw. Dan Liberal yang artinya adalah kebebasan.

Setelah dua kata ini disusun, kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam, sehingga bisa secara singkat bisa dikatakan islam yang liberal atau bebas. Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya tujuannya adalah untuk untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan. Sayangnya, gerakan ini menjadi liar dan benar-benar liberal, hingga mereka pun hendak melepaskan diri dari nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Kalaupun mereka masih mengutip Qur’an dan hadis, mereka adakan penafsiran liberal sedemikian rupa hingga memenuhi selera mereka.

Sejarah munculnya

Sesungguhnya, munculnya Islam Liberal itu adalah dalam rangka menghadang laju perkembangan kaum muslimin yang setia dan taat pada al-qur’an dan hadis. Mereka menganggap muslim yang taat pada dua ajaran islam ini sebagai kaum militan fundamentalis. Tentang later belakang ini, di dalam situs resmi Islam Liberal dinyatakan, “sudah tentu, jika tidak ada usaha-usaha untuk mencegah dominannya pandangan keagamaan yang militan (fundamentalis) itu, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini boleh menjadi dominan. Hal ini jika terjadi, akan mempunyai akibat buruk buat usaha memantapkan demokrasi di Indonesia. Sebab pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan antara kelompok-kelompok agama yang ada. Sebut saja antara Islam dan Kristian. Pandangan-pandangan kegamaan yang terbuka (inklusif) plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis.”[2]

Istilah Islam Liberal ini diperkenalkan oleh seorang intelektual asal India, Asaf 'Ali Asghar Fyzee, pada tahun 1950-an. Pada salah satu tulisannya dia menuliskan, ”Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur. Tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu 'Islam liberal” Kemudian istilah ini dipopulerkan di Indonesia melalui karya Greg barton, Leonard Binder dan Charles Kurzman.[3]

Sedangkan di Indonesia sendiri berawal dari komunitas diskusi beberapa intelektual muda muslim yang sudah berjejaring sebelumnya. Salah satu penggagasnya adalah jurnalis senior Goenawan Mohammad 2001. Forum ini berkembang menjadi forum mailing group. Sejak Maret 2001 forum ini mulai aktif sebagai Jaringan Islam Liberal, terutama dalam menyelenggarakan diskusi-diskusi. Pada usia awalnya, perkembangan forum ini juga tak lepas dari dukungan dan kontribusi beberapa intelektual di luar maupun dari dalam kalangan JIL, seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Ahmad Sahal, Budhy Munawar-Rachman, Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukanie, Rizal Mallarangeng, Denny J. A., Ihsan Ali-Fauzi, A.E. Priyono, Samsurizal Panggabean, Ulil Abshar Abdalla, Saiful Mujani, and Hadimulyo.

JIL tidak punya sistem keanggotaan untuk menjaga kelonggaran dan inklusivisme. Setelah Ulil Abshar-Abdalla dan Hamid Basyaib, saat ini koordinator JIL adalah Luthfi Assyaukanie, seorang tokoh Islam liberal muda alumni Yordania, ISTAC Malaysia, dan University of Melbourne, Australia. Di awal masanya, JIL juga bekerja sama dengan The Asia Foundation sebuah yayasan yang peduli terhadap sekulerisme, pluralisme, liberalisme, hingga kesetaraan gender. Saat ini ada beberapa lembaga donor yang bekerja sama dengan JIL, di samping dana sumbangan dari perorangan.[4]

Sejarah Landasarn pemikiran islam liberal

latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.

Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).

Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma' (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat--oleh karena kesetiaan mreka kepada apa yang dikatakannya dan diperbuatnya--, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis.

Usaha Ibn Taymiyah pun dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis sosiologi Islam. Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn Khaldun--sebagai seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam waktu itu yang terpecah-pecah--, percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya kesejahteraan umum (common goods) dan hukum ilahiyah demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan negara, yang kemudian diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah" (ashabiyah) dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan sosial. Oleh karena itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu keharusan mutlak dalam masa perubahan politik.

Sebenarnya, liberalisme Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat kesultanan Ottoman di Turki, yang oleh segelintir cendekiawan di Konstantinopel dirasakan sebagai ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius. Diantara tokoh-tokoh cendekiawan itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di Turki yang liberal, seperti Rifa' Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-18819), dan Butrus al-Bustam (1819-1883). Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa mengetahui bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang sebaiknya membimbing suatu pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru dari Barat? Lantas, antara Islam dan Barat, apakah tidak ada pertentangan?

Menurut mereka, 'ulama harus dilibatkan dalam pemerintahan, tetapi untuk itu, 'ulama harus terlebih dulu diberikan pendidikan modern yang memadai, agar mereka dapat melihat situasi dan kebutuhan masyarakat modern sekarang ini. Dari para 'ulama itu, dituntut pengetahuan tentang apa itu dunia modern dan problematikanya, supaya tidak terkurung hanya dalam ajaran-ajaran tradisional. Sementara itu, syari'ah juga harus disesuaikan dengan situasi baru. Antara syari'ah (hukum Islam) dan hukum alam (ilmu pengetahuan) yang dikembangkan di Eropa dianggap tidak banyak perbedaannya secara prinsipil. Karena itu, pendidikan modern adalah suatu keharusan untuk umat Islam. Juga untuk "memperbaharui" syari'ah itu.

Demikianlah, sampai sebelum Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh dan Muhammad Rasyd Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu--maksudnya tentu saja pemahaman kaum Muslim terhadap Islam--harus "dimodernkan" atau "dirasionalkan" sudah menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim. Dan ini telah menimbulkan gerakan yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai "gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi dan seluruh kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islah harus belajar dari Barat!

Memang, mereka pun menyadari bahaya yang bisa muncul dari proses "pembaratan" ini. Tetapi, mereka juga yakin bahwa kekuatan gagasan yang progresif dari Barat itu, juga akan mampu mengatasi masalah yang akan muncul. Apalagi, bertepatan dengan munculnya gagasan-gagasan itu, secara politis Ottoman mengalami kemunduran.

Selanjutnya, masalah menjadi lain ketika Afghani, 'Abduh dan Rasyd Ridha hidup. Masalah yang dihadapi mereka adalah imperialisme Eropa. Kerajaan Ottoman dalam tahun 1875-1878, telah kemasukan kekuatan militer Eropa. Tahun 1881, Tunisia diduduki Perancis dan tahun 1882, Mesir pun jatuh ke tangan Inggris. Dan pada tahun-tahun ini pula, semua dunia Islam berada dalam genggaman kolonialisme Eropa, termasuk Indonesia. Sehingga, secara politis keadaan sudah berubah. Maka melihat fenomena Barat-Modern tanpa kritisisme pun menjadi naif. Melalui mereka, muncullah gagasan pan-Islamisme yang mau melawan kolonialisme Barat. Dalam diri mereka, sudah timbul suatu kesadaran bahwa Barat yang modern itu ternyata juga mempunyai sisi destruktif, yakni imperialisme yang menghancurkan kebudayaan Islam baik secara sosial-budaya maupun politis. Timbullah kesadaran bahwa yang modern bukan hanya Barat, tetapi bisa juga Islam. Karena itu pemikiran dan gerakan modernisme awal ini, nantinya mendorong munculnya gerakan-gerakan neo-revivalisme, yang terutama dipimpin oleh Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Abu 'Al al-Mawdudi, yang nanti akan "dicap" sebagai akar fundamentalisme Islam kontemporer.[5]

Ringkasnya, landasan pemikiran islam liberal menyangkut beberapa hal sebagai mana berikut:

a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.

Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).

b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.

Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat protestan, bukan menafsirkan berdasarkan Qur'an dan sunnah yang dianggap hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.

c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.

Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.

d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.

Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas dalam konteks Indonesia. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.

e. Meyakini kebebasan beragama.

Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal menolak persekusi atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.[6]

Islam Fundamental

Definisi Islam fundamental : Orang Islam yang menegakkan syaria’at Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist secara sepenuhnya dan semurni-murninya.

Beberapa pandangan islam fundamental

Pertama, dari segi keyakinan keagamaanya, mereka bersikap sangat kaku dan literalis terhadap teks-teks keagamaan. Mereka sangat menekankan simbol-simbol keagamaan daripada substansinya serta mengangap Islam sebagai doktrin yang telah mengatur segala-galanya tanpa terkecuali.

Kedua, sikap dan pandangannya yang eksklusif, mereka selalu mengklaim dengan menekankan bahwa keyakinan mereka yang benar, sehingga orang yang berseberangan atau berbeda dengan mereka dianggap salah dan harus dikutuk. Oleh sebab itu gerakan ini sangat cepat untuk memvonis seseorang sesat, kafir, bid’ah dan lain sebagainya.

Ketiga, dari segi budaya dan sosial, terkesan kolot, kuno. Hal ini disebabkan sikap mereka terhadap produk budaya modern kendatipun sifatnya kultural bukan masuk pada wilayah keyakinan.

Keempat,dari segi bentuk dan sifat gerakannya, mereka cendrung memaksakan kehendak dengan menggunakan berbagai cara termasuk dengan cara-cara kekerasan, seperti hasutan, pemukulan, pengrusakan, bahkan pengeboman atau dengan kata lain selalu menggunakan penghakiam sendiri.[7]

Selain itu, islam fundamentaalis cenderung mengasingkan diri, penentangan, dan perasaan adanya bahaya, fundamentalisme merupakan doktrin kekuasaan suci, atau ideologi kitab dan nash, dan pemikiran Islam mencakup ideologi ini khususnya dalam interaksinya dengan Al Quran sebagai wahyu Tuhan dan penyempurna bagi agama-agama yang lain.

            Lampton berpendapat, bahwasanya dalam Islam terdapat inti pokok fundamentalisme, sedang dalam Kristen dan Yahudi bukan fundamentalisme secara sempurna, namun terdapat potensi yang kuat bagi munculnya fundamentalisme, dan itu  telah terjadi, dan menganggap kalimat-kalimat yang terdapat dalam kitab suci, baik Taurat, Injil maupun Al-Quran, meski datangnya dari Tuhan masih membutuhkan penerjemah, pengurai, penta'wil yang hadir secara manusiawi. Dari sini akan kita temukan macam-macam fundamentalisme yang setiap satunya mengklaim kebenaran, untuk itu ditemukan hubungan antara fundamentalisme dan perseteruan sekte dan madzhab, sampai dikatakan hal tersebut disebabkan karena Islam pada intinya adalah fundamentalisme, oleh karena itu perpecahan dan perselisihan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dan tidak luput dari unsur agama.? Pendapat ini ada benarnya, meski kelemahan penguasa ikut andil dalam perpecahan dan perselisihan tersebut.

            Para orentalis menganggap Islam fundamentalis sebagaimana fundamentalisme secara umum. Watt mengemukakan ciri-ciri bagi orang Islam seperti: teguh, tidak mudah goyah, hilangnya pikiran perkembangan, dan wataknya tidak berubah, Islam cukup mengambil sample dari masa-masa pertama.?

            Gellner melihat Islam fundamentalis itu mempunyai sifat kesederhanaan, penuh dengan kekuatan, militansi yang kadang-kadang keras, dan gerakan menjaga masyarakat, mayoritas kehidupannya miskin, mampu mengkondisikan masyarakat dengan kebudayaan kuno yang terkandung dalam akidahnya, serta menunjukkan sebab-sebab kesengsaraannya itu disebabkan oleh penyimpangan dari jalan yang benar, dan solusi dari semua ini adalah kembali kepada etika dan kekuatan identitas.[8]

Perbandingan Liberal dan fundamental

Kesejatian manusia mencakup sebuah perspektif yang sangat sederhana, yaitu menyederhanakan segala sesuatu dan bermuara pada absolutisme. Segala bentuk fenomena, baik memiliki kompleksitas maupun tidak, lebih mudah memang apabila disederhanakan secara dikotomis. Perspektif dikotomi memudahkan manusia untuk memahami dan mengambil sikap menghadapi suatu fenomena.

Dalam Islam, ada dikotomi yang meruang antara Islam Fundamental dan Islam Liberal. Dua kelompok ini berbeda satu sama lain dan acapkali menjumpai friksi yang bersifat konseptual maupun aplikatif. Bahkan friksi di antara keduanya, beberapa kali bersifat terbuka dan dapat dengan mudah dapat ditangkap oleh publik di luar mereka. Amien Rais dalam pengantar buku Islam Otentisitas Liberalisme karya Dr. David Sagiv, mengatakan bahwa friksi antara Islam Fundamental dan Islam Liberal tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di mayoritas negara berpenduduk muslim.

Di antaranya adalah Mesir, al-ghazwul al-fikr (inovasi ideologi) yang datang ke dunia Islam menumpang kafilah kolonialisasi dan imperialisme Barat memicu respon dari para ulama Islam yang ingin mempertahankan identitas dan kelangsungan hidup Islam sebagai paradigma. Respon ini cenderung beragam.Mesir adalah cerminan ideal friksi di antara Islam Fundamental dan Islam Liberal. Alasannya adalah; pertama, Mesir memiliki Cairo yang merupakan center of excellence dunia Islam. Keberadaan Universitas Al-Azhar, universitas yang berdiri pertama kali pada masa Dinasti Fatimiyah, menjadikan Cairo sebagai kota yang sarat dengan ulama””-ulama”” genial. Kedua, intellectual welfare antara Barat dan Islam berlangsung sengit di media massa Mesir.

Lalu, adakah friksi tersebut di Indonesia? Dalam Liberal Islam: A Sourcebook Charles Kurzman menyebut bahwa Islam Liberal di Indonesia ditandai dengan keberadaan adalah Jaringan Islam Liberal (JIL)/Ulil Abshar Abdalla serta Kelompok Paramadina/(alm) Nurcholis Madjid, Gus Dur, Azyumardi Azra, dan masih banyak lagi lainnya. Sedang Islam Fundamental/Radikal direprentasikan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)/Abu Bakar Baasyir, Irfan S. Awwas, Laskar Jihad/Jafar Umar Thalib, Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)/Hidayat Nur Wahid (M. Fajrul Munawir, 2005). Benarkah itu? Tentang valid ataukah tidak pendapat di atas, bukanlah sebuah fenomena yang harus dikaji dengan beragam rujukan dari masing-masing perspektif. Namun, ada baiknya kita lebih mengkaji latar belakang keberadaan Islam Fundamental dan Islam Liberal di Indonesia secara historis.

Sejatinya, Islam fundamental tumbuh dan berkembang akibat perspektif ulama””-ulama”” mereka yang memandang Al-Quran dan Al-Hadist atau fiqih produk lama secara tekstual. Sebaliknya, Islam Liberal memandang urgensi penyegaran pemahaman secara kontekstual dan interteks terhadap Al-Quran dan Al-Hadist. Meskipun pengalaman adalah guru terbaik, namun guru dan lingkungan pendidikan juga memiliki andil besar dalam pembentukan individu secara holistic sebagai produk pembelajaran. Friksi antara fundamentalis dan liberalis dalam Islam dimulai dari perbedaan rujukan ilmu dan pengetahuan. Mayoritas tokoh-tokoh Islam Fundamental menikmati pendidikan Islam model Timur Tengah (Makkah, dsb). Hal ini berbeda dengan Islam Liberal yang mayoritas lulusan Barat (Chicago, Turki, dan Madinah), yang memiliki pola pengembangan proses berpikir cenderung rasionalis ala Barat.

Paradigma berpikir tokoh-tokoh Islam Fundamental lebih dititikberatkan pada nalar bayani (afektif, menghafal materi-literatis) dan cenderung mengabaikan nalar burhani (kognitif). Bahkan beberapa ulama”” Islam Fundamental menyebut penggunaan akal (rasio) dalam memahami dan mengkaji Al-Quran dan Al-Hadist tergolong sebagai bid””ah karena berpotensi menggeser upaya ””mencari kebenaran”” menjadi ””mencari pembenaran””. Berbeda dengan kaum Islam Liberal, mereka cenderung mengedepankan nalar burhani dalam memahami dan mengkaji Al-Quran dan Al-Hadist karena memiliki beragam aspek pendekatan dan metodologi yang ilmiah. Satu hal yang patut disyukuri, yaitu kedua kelompok ini memiliki tokoh-tokoh intelektual yang memberikan warna dalam geliat pembangunan dan perpolitikan di Indonesia. Bahkan, beberapa di antaranya ””bertengger”” di posisi vital decision maker pemerintahan, ormas Islam, bahkan parpol-parpol yang mambawa bendera relijius sebagai ideologi dasar.[9]

 

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Istilah Islam Liberal disusun dari dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Islam maksudnya adalah agama Islam, yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw. Dan Liberal yang artinya adalah kebebasan.

Setelah dua kata ini disusun, kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam, sehingga bisa secara singkat bisa dikatakan islam yang liberal atau bebas.

Beberapa pandangan pemikirannya adalah Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik,  Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, Memihak pada yang minoritas dan tertindas, Meyakini kebebasan beragama, Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.

Sedangkan islam fundamental adalah orang Islam yang menegakkan syaria’at Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist secara sepenuhnya dan semurni-murninya.

Adapun dikotomi yang meruang antara Islam Fundamental dan Islam Liberal. Dua kelompok ini berbeda satu sama lain dan acapkali menjumpai friksi yang bersifat konseptual maupun aplikatif. Bahkan friksi di antara keduanya, beberapa kali bersifat terbuka dan dapat dengan mudah dapat ditangkap oleh publik di luar mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1980)

Http://www.isnet.media.com (Jurnal Universitas Paramadina)

http://islamlib.com/id/artikel/islam-liberal-definisi-dan-sikap/

M. Syafi’i Anwar, “Negara dan Cendikiawan Muslim Indonesia Orde Baru”, dalam Saiful Muzani, (ed), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993). Hal 48

Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1991)

www.waspadaonline.com,

Id.wikipedia.com



[1] www.waspadaonline.com, di akses pada tanggal 5 Januari 2010.


[2] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal 74


[3] Ibid, hal 78


[4] Id.wikipedia.com, di akses pada tanggal 06 Januari 2010.


[5] Http://www.isnet.media.com/nur kholis majid (jurnal pemikiran Universitas Paramadina, Jakarta)


[6] http://islamlib.com/id/artikel/islam-liberal-definisi-dan-sikap/


[7] Deliar Noer, op.cit. hal 91-93


[8] M. Syafi’i Anwar, “Negara dan Cendikiawan Muslim Indonesia Orde Baru”, dalam Saiful Muzani, (ed), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993). Hal 48


[9] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1991) hal 78




Leave a Reply.