Bab I

Pendahuluan

Persoalan akhlaq adalah persoalan besar bagi umat Islam, persoalan yang menentukan eksistensi seorang Muslim sebagai makhluq Allah, sebagai pribadi di dalam keluarganya, sebagai individu di dalam masyarakatnya, sebagai muharrik dalam sebuah gerakan Islam, sebagai Muslim di tengah umat, sebagai bagian dari umat di tengah interkasinya dengan bangsa dan peradaban lain di Dunia.  Akhlaq adalah persoalan jati diri, persoalan karakter inheren yang tak bisa lepas kemana
seseorang manusia pergi. Sekaligus akhlaq merupakan lambang kualitas seorang manusia, masyarakat dan umat.  Karena akhlaq adalah seperangkat tindakan atau gaya hidup (namth) yang terpuji, yang merupakan refleksi nilai-nilai Islam yang diyakini dengan motivasi semata-mata mencari keridhaan Allah SWT.  Akhlaq adalah nilai-nilai Islam yang membumi, yang terjelma dalam bentuk konkret manusia, umat atau peradaban.  Dia merupakan nilai terpuji, karena nilai-nilai islami adalah nilai fitrah manusiawi, yang bersih dan lurus.  Karenanya sebaik-baik manusia adalah manusia yang sesuai dengan fitrahnya, manusia yang baik akhlaqnya.

Dalam bingkai potret peradaban umat di hari ini, akhlaq islami menjadi penting, bahkan merupakan sebuah urgensi yang tak bisa ditawar-tawar lagi.  Karena potret buram dan retak peradaban umat di hari ini tak lepas dari pengaruh lunturnya akhlaq di kalangan kaum Muslimin.  Dan lunturnya akhlaq ini pula yang telah menggeser timbangan umat dari posisi khairu ummah menjadi "buih", yang dengan mudahnya dicerai-beraikan musuh-musuh Allah.  Karenanya upaya peningkatan akhlaq islami mestilah disasarkan pada pribadi Muslim, dai dan muharrik, keluarga, masyarakat, amal islami dan umat secara keseluruhan.

Dalam skala pribadi perbaikan akhlaq akan membuat seorang Muslim memiliki ketenangan dan kekuatan jiwa, dihormati dan diteladani, dapat menjalankan kewajiban dengan baik, dapat memberikan sumbangan bagi aktifitas kemaslahatan masyarakat, kemudian akan berkembang ruh mahabah dan ukhuwah antar pribadi muslim. Dalam skala masyarakat, maka pribadi-pribadi Muslim yang berakhlaqul kharimah dapat memberikan ketertiban dan kesejahteraan umum, masyarakat menjadi teratur dan bersih.  Dalam skala amal islami, dengan menguatnya akhlaq para aktifis harakah, pertumbuhan dan kekuatan dapat diciptakan, yang pada gilirannya mampu meningkatkan manuver-manuver da'wah serta memberikan daya tahan (imunitas) terhadap serangan futur (kemandegan).  Peningkatan akhlaq para aktifis gerakan Islam akan memberikan pertumbuhan vertikal berupa peningkatan tanggung-jawab (mas'uliyah) dan kepemimpinan, memunculkan afkar-afkar (anggota) yang berkualitas, yang selanjutnya dapat mengadakan pertumbuhan horizontal berupa perluasan medan da'wah.

Dalam pembahasan ini, akan mencoba memeberikan spesifikasi kajian pendidikan moral atau akhlak serta ruang lingkupnya dalam keluarga sebagaimana yang tertuang dalam QS. An-Nur:27-35.

Bab II

Pembahasan

Islam tidak hanya mengandalkan hukuman dalam mendidik umatnya. Lebih dari itu Islam sangat mengedepankan sarana preventif pendidikan akhlaq. Problem seksual yang menjadi tema akhlaq keluarga dan masyarakat dalam surah An Nur dicegah dengan sarana preventif pencegahan seperti yang diterangkan dalam ayat 27 sampai 34 ini. Yang Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminat izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapatkan izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih baik bagimu. Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepadamu.

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.

Prinsip-prinsip umum pendidikan akhlaq seperti yang termuat dalam ayat di atas adalah :

1. Mempersempit peluang penyimpangan

2. Menjauhkan semua faktor pengganggu (fitnah)

3. Memilih jalan yang menarik

4. Menghilangkan gangguan yang merintangi proses pemuasan yang dilakukan dengan cara halal.

Sarana prefentif pendidikan akhlaq dalam membangun keluarga dapat dipahami dalam beberapa kosep berikut ini, yaitu:

1. Isti’dzan (meminta izin) sebelum memasuki rumah

2. Ghadhdhu al bashar (menundukkan pandangan)

3. Memudahkan proses pernikahan

4. Penghapusan pelacuran

 

       I.            Isti’dzan (Meminta Izin) Sebelum Memasuki Rumah

Di antara ciri peradaban manusia adalah adanya rumah sebagai tempat tinggal, setelah pakaian sebagai penutup aurat. Dengan rumah itu seseorang mendapatkan privasi diri, tidak menjadi sasaran pandang setiap orang, penghuninya dapat menikmati kesenangan pribadinya dengan leluasa. Rumah menjadi perisai seseorang dari pandangan orang luar, dan menjadi batas yang tidak boleh dilewati tanpa izin.

Sababun nuzul ayat ini akan semakin memperjelas tujuan disyariatkannya isti’dzan sebelum masuk ke rumah orang lain. Seorang wanita Anshar mengadu kepada Rasulullah: “Ya Rasulallah! Aku berada di rumahku dalam keadaan yang aku sendiri tidak ingin dilihat orang lain. Akan tetapi selalu saja ada laki-laki dari familiku masuk ke dalam rumahku. Apa yang harus aku lakukan?” Maka turunlah ayat 27 ini. Firman Allah yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminat izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (QS. An Nur/24: 27)

Masuknya seseorang ke rumah orang lain tanpa sepengetahuan penghuninya, akan membuka peluang terkuaknya tabir penutup kehormatan seseorang, sehingga menimbulkan terjadinya perbuatan yang tercela atau menjadi sasaran tuduhan bagi orang-orang yang hendak menyebarkan fitnah dalam masyarakat. Dari itulah Islam menjadikan rumah sebagai ruang privasi, yang tidak boleh diganggu kehormatannya. Tidak boleh ada orang asing, masuk ke dalamnya tanpa mendapatkan izin dari tuan rumah, karena dikhawatirkan akan melihat rahasia-rahasia isi rumah itu, melihat aurat penghuni rumah yang sedang terlena, dan lain sebagainya.

    II.            Ghadhdhul-Bashar (Menundukkan Pandangan)

Sesungguhnya Islam berusaha keras membangun masyarakat yang bersih, jauh dari rangsangan-rangsangan birahi, dan dorongan-dorongan nafsu bergejolak setiap waktu. Proses rangsangan akan terus berjalan tanpa pernah henti, sehingga manusia hanya tersisa nafsu hewaninya. Pandangan mata, dandanan yang mengundang selera, dan tampilan yang mempesona, menjadi bunga-bunga yang membangkitkan selera. Salah satu perhatian utama dalam membangun pendidikan akhlaq adalah menumbuhkan dinamika sosial tanpa mengekspos rangsangan seksual. Mempertahankan dorongan fitrah manusia dalam berkomunikasi dengan lawan jenis bersih tanpa virus, alamiah tanpa rekayasa, tepat guna sesuai dengan pesan Allah SWT. Pesan ini disampaikan suran An Nur dalam dua ayat berikut ini:

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An Nur/24: 30-31)

Dua ayat ini memberikan aturan detail tentang penggunaan mata, dan pergaulan antara orang-orang beriman. Adab-adab ini akan membentuk hati yang bersih dari dosa, dan dengan itu akan terhindar dari perbuatan ma’siat.

Arti Menundukkan Pandangan

Menundukkan pandangan artinya mengalihkan dengan cepat pandangan yang tanpa sengaja melihat sesuatu yang telah Allah haramkan. Sebagaimana dalam firman Allah QS. An Nur/24: 30. Pandagan faj’ah (terjadi tanpa disengaja) ini masih ditolerir syari’ah, tetapi pandangan berikutnya dilarang agama. Menundukkan pandangan bagi seorang laki-laki menunjukkan pribadi yang beradab mulia. Ia merupakan usaha untuk membersihkan jiwa dengan meredam gejolak nafsu yang ingin memperhatikan keindahan, pesona dan fitnah yang ada pada wajah atau fisik lawan jenisnya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An Nur/24: 30. Dengan menjaga pandangan ini, maka tertutuplah pintu pertama yang menyeret kepada penyimpangan dan godaan.

 

Menjaga Aurat

Kata “aurat” menurut bahasa berarti an naqshu (kekurangan). Dan dalam istilah syar’iy (agama), kata aurat berarti : sesuatu yang wajib di tutup dan haram dilihat. Dan para ulama telah bersepakat tentang kewajiban menutup aurat baik dalam shalat maupun di luar shalat.

Menjaga aurat adalah konsekwensi logis dari konsep menundukkan pandangan, atau sering pula disebut sebagai langkah kedua dalam mengendalikan keinginan dan membangun kesadaran, setelah konsep menundukkan pandangan. Dari itulah dua hal ini diletakkan dalam satu rangkaian ayat yang mengisyaratkan adanya hubungan sebab akibat, atau keduanya sebagai dua langkah strategis yang saling mendukung. Aurat seseorang terhadap orang lain dapat dipetakan dalam kerangka berikut ini, yaitu: aurat laki-laki terhadap laki-laki, aurat wanita terhadap wanita, aurat laki-laki di hadapan wanita, dan aurat wanita di hadapan laki-laki.

1. Aurat laki-laki bersama dengan laki-laki.

Bersama dengan kaum lelaki, ia tidak boleh menampakkan bagian antara lutut dan pusarnya, baik laki-laki yang melihatnya itu kerabatnya maupun orang lain, baik muslim maupun kafir. Adapun selain anggota tubuh itu boleh terlihat selama tidak ada fitnah.

2. Aurat wanita terhadap wanita

Wanita bersama dengan kaum wanita, bagaikan laki-laki terhadap laki-laki, diperbolehkan melihat seluruh badannya kecuali antara lutut dan pusarnya, kecuali diindikasikan akan membawa fitnah, maka tidak boleh menampakkan bagian tubuh itu. Hanya saja kepada wanita yang tidak seagama, wanita muslimah tidak boleh menampakkan auratnya sebagaimana kepada sesama wanita muslimah. Karena wanita yang tidak seagama berstatus orang lain bagi wanita muslimah. Sebagaiamana dalam QS. An Nur/24:30.

3. Aurat laki-laki di hadapan wanita

Seorang wanita muslimah diperbolehkan melihat kaum lelaki yang berjalan di jalan-jalan, atau memainkan permainan yang tidak diharamkan, yang sedang berjual beli, dan sebagainya. Rasulullah SAW menyaksikan orang-orang Habsyiy bermain lembing di dalam masjid pada hari raya dan Aisyah ikut menyaksikan mereka dari belakang beliau. Rasulullah menghalangi Aisyah dari mereka, sampai ia merasa bosan dan pulang. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke tujuh Hijriyah.  Pada kenyataannya, memang sangat berbeda antara pandangan laki-laki pada wanita dan pandangan wanita pada laki-laki. Wanita dengan rasa malu yang tinggi akan cenderung pasif, sedangkan laki-laki dengan sifat pemberaninya akan cenderung aktif dan kreatif. Kesimpulannya, wanita diperbolehkan melihat lelaki lain dengan dua syarat, yaitu : Pertama, tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Kedua, tidak berada dalam satu majlis berhadap-hadapan.

4. Aurat wanita di hadapan laki-laki

Keberadaan wanita di hadapan lawan jenisnya memiliki rincian hukum yang berbeda-beda, yaitu:

a.       Di hadapan laki-laki lain, yang tidak ada hubungan mahram.

Maka seluruh badan wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Karena keduanya diperlukan dalam bermu’amalah, memberi dan menerima.  Pandangan laki-laki kepada wajah dan telapak tangan wanita bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Tidak diperbolehkan dengan sengaja melihat wajah dan telapak tangan wanita lain tanpa tujuan sya’iy. Dan jika tanpa sengaja melihatnya maka segera harus memalingkan pandangan seperti yang telah dijelaskan pada pandangan faj’ah (tanpa sengaja). 2. Melihat karena ada tujuan syar’iy dan tidak ada fitnah, seperti melihat untuk melamar. Dan untuk semua tujuan itu, seseorang diperbolehkan melihat wajahnya, yang dengan melihat wajah itu sudah cukup untuk mengenalinya. 3. Memandang dengan syahwat, inilah pandangan terlarang. Sababun nuzul ayat 30 ini sangat memperjelas kewajiban menjaga pandangan, yaitu kisah seorang laki-laki yang lewat di salah satu jalan di Madinah, ia memandangi seorang wanita. Dan wanita itupun membalas memandanginya. Syetan ikut bermain menggoda keduanya, sehingga keduanya saling mengagumi. Sambil berjalan laki-laki itu terus memandangnya hingga ia menabrak tembok dan berdarah hidungnya. Ia berkata:

“Demi Allah! Saya tidak akan membasuh darah ini sebelum saya menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu saya ceritakan kejadian ini.”

Laki-laki itu segera menemui Nabi dan menceritakan kejadiannya. Nabi bersabda: “Inilah hukuman dosamu”. Dan Allah menurunkan ayat 30 dan 31 ini. Pengecualian dalam hukum ini adalah jika berada dalam keadaan terpaksa, seperti penglihatan dokter muslim yang terpercaya untuk pengobatan, khitan, atau penyelamatan dari bahaya kebakaran, tenggelam, dan sebagainya.

b. Di hadapan laki-laki yang memiliki hubungan mahram

Jika laki-laki itu memiliki hubungan mahram karena nasab, sepersusuan, atau hubungan perkawinan (mertua), maka aurat wanita itu sebagaimana aurat laki-laki yaitu diperbolehkan melihat semua badannya kecuali antara pusar dan lututnya. Kecuali jika ada fitnah, maka harus menutup seluruh badannya. Ada Ulama lain yang mengatakan bahwa dalam kondisi itu wanita hanya boleh menampakkan bagian tubuh yang biasa terlihat sewaktu bekerja, yaitu: rambut, leher, lengan, dan betis.

c. Di hadapan suami

Seorang wanita di hadapan suaminya boleh menampakkan seluruh anggota badannya. Karena segala sesuatu yang boleh dinikmati, tentu boleh juga dilihat.

d. Budak wanita di hadapan orang yang tidak boleh menikmatinya

Aurat budak wanita di hadapan laki-laki yang tidak boleh menikmatinya adalah seperti aurat laki-laki, yaitu antara lutut dan pusar. Dan jika di hadapan tuan yang boleh menikmatinya maka kedudukannya bagaikan isteri dengan suaminya.

Zienah (Pesona) Wanita

Zienah wanita dikategorikan dalam dua bagian yaitu zienah khilqiyyah (ciptaan Allah), dan zienah muktasabah (diusahakan) sendiri oleh yang bersangkutan. Zienah khilqiyah wanita adalah tubuh dan wajahnya yang merupakan pusat keindahan, dan sumber pengetahuan. Sedang zienah muktasabah adalah segala sesuatu yang diusahakan wanita untuk mempercantik dirinya, seperti pakaian, perhiasan emas-perak, dan sebagainya. Dari perhiasan itu ada yang zhahir (tampak luar) dan ada yang batin (di dalam). Al Qur’an hanya memerintahkan kaum wanita untuk tidak menampakkan pesonanya itu, kecuali yang zahir.

 

Gerakan erotis

Langkah prefentif lain yang diajarkan Al Qur’an adalah agar wanita tidak melakukan gerakan-gerakan yang memperlihatkan pesonanya, menggugah nafsu terpendam bagi orang yang melihatnya. Sebagiamana Firman Allah QS. An Nur/24: 31.

Allah SWT mengajarkan langkah prefentif yang faktual. Sesuai dengan reaksi jiwa manusia. Sering kali hayalan itu terasa lebih dahsyat dalam menggugah birahi dibandingkan dengan penglihatan langsung. Banyak orang yang lebih terpesona ketika melihat baju, dan perhiasan dari pada melihat anggota badannya. Sebagaimana banyak orang yang lebih terpesona ketika parfum wanita menembus hidungnya daripada menyaksikan wanita itu di hadapan matanya.

 

Mahram

Setiap wanita yang diharamkan bagi laki-laki untuk mengawininya disebut wanita mahram. Demikian pula setiap laki-laki yang diharamkan wanita untuk kawin dengannya disebut mahram. Di luar itu disebut sebagai ajnabi (orang lain). Adapun orang yang masuk dalam kelompok mahram diterangkan dalam ayat berikut ini: 

Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudar ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki dan anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan. Ibu-ibu yang menyusukan kamu dan saudara-saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka kamu tidak berdosa mengawininya. Dan diharamkan (bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)…. (QS. An Nisa/4: 22 – 23)

Mahram seseorang dapat dikelompokkan dalam pengkelompokan berikut ini:

a.       Mahram karena nasab (keturunan), yaitu : ibu, anak perempuan, saudara perempuan, ‘amah/bibi (saudara ayah), khalah /bibi (saudara ibu), anak saudara laki-laki (keponakan), anak saudara perempuan (keponakan).

b.      Mahram karena Pernikahan, yaitu: Isteri ayah (ibu tiri), Isteri anak (menantu), Ibu isteri (mertua), Anak-anak perempuan dari isteri (anak tiri).

c.       Mahram karena Sepersusuan, yaitu: Ibu susu, dan saudara sepersusuan.

 III.            Mempermudah Proses Pernikahan

Kecenderungan laki-laki kepada wanita adalah kebutuhan biologis yang tidak dapat dipungkiri. Sunnatullah yang menjadikan semua makhluk di bumi ini berpasang-pasangan berlaku juga pada bangsa manusia yang pada saatnya membutuhkan pasangan hidupnya. Cara-cara prefentif di atas memang ideal, tetapi tidak menyelesaikan masalah dengan baik. Masih dibutuhkan tindakan riil untuk mengatasi permasalahan moral itu dengan pemecahan yang realistis dan tidak berlawanan dengan fitrah manusia itu sendiri.  Al Qur’an mengajukan pemecahan masalah besar ini dengan membantu mempermudah proses pernikahan, sebagaimana Firman Allah dalam QS. An Nur/24: 32-33.

Hikmah Nikah

Nikah adalah lembaga formal dalam agama untuk membangun keluarga. Dalam nikah akan ditemukan beberapa hikmah, antara lain :

1. Memelihara keturunan.

2. Melindungi diri dari godaan nafsu.

3. Membangun interdependensi antara suami dan isteri dalam tanggung jawab keluarga.

4. Mendapatkan ketenteraman rohani.

 

Kendala Pernikahan

Islam mewajibkan umatnya untuk senantiasa iffah (menjaga diri dari perbuatan haram), terutama dalam hubungan lawan jenis, dan Islam menjadikan sarana untuk iffah itu menjadi sangat mudah, sehingga ketika seseorang membutuhkan pemenuhan kebutuhan biologisnya nya ia tidak terjerumus dalam perbuatan keji (zina). Kendala terbesar dalam proses pernikahan adalah kendala finansial. Maka Islam mengajarkan bahwa kemiskinan tidak boleh menjadi hambatan bagi orang yang hendak menikah. Selama mereka memang layak dan shaleh untuk menikah maka rizki yang ada di sisi Allah menjadi sangat terbuka baginya. Sebagaimana Firman-Nya dalam QS. An Nur/24: 32

Kendala finansial yang merintangi seseorang dalam proses pernikahan diuraikan dengan langkah-langkah riil antara lain :

a.       Mempermudah peluang kerja, sehingga setiap orang mampu menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya.

b.      Membiayai pernikahan orang-orang yang belum mampu secara finansial, agar dapat melaksanakan pernikahan. Hal ini juga diterangkan dalam firmanNya dalam QS. An Nur/24:32.

c.       Memberikan peluang kepada budak yang melakukan perjanjian untuk merdeka, dan memberikan kepada mereka modal untuk mandiri. Seperti dalam firmanNyda dalam QS. An Nur/24: 33.

Demikianlah Islam menguraikan permasalahan secara praktis, sehingga memudahkan setiap orang yang sudah sampai waktunya menikah ia dapat menikah dengan halal, meskipun memiliki kelemahan dalam bidang fiansial.

 

 IV.            Penghapusan Pelacuran

Kemiskinan seringkali menjadi pembenaran sosial untuk melakukan penyimpangan dengan menjual diri agar dapat mendapatkan uang dalam jumlah besar dengan cara yang mudah dan gampang. Pelacuran adalah masalah sosial yang paling krusial. Lemahnya iman, keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologisl dan tuntutan mendapatkan uang dengan cara mudah menjadi faktor utama terjadinya perbuatan pelacuran.

Keberadaan budak di tengah masyarakat menjadi hambatan sosial yang sangat besar, ketidak bebasan dan keterpaksaan yang mereka miliki dapat dengan mudah dimanfaatkan orang untuk melakukan pelacuran, karena tergiur oleh uang yang banyak. Seperti yang disebutkan dalam sababun-nuzul ayat ini. Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah: Bahwasannya Abdullah bin Ubay menyuruh budak wanitanya melacur untuk mendapatkan uang yang banyak dengan mudah, maka turunlah ayat ini. Seperi tertuang dalam QS. An Nur/24:33.

Larangan ini sebagai upaya prefentif, pendidikan akhlaq dalam membangun pribadi yang bersih. Keberadaan pelacur akan menjadi peluang besar terjadinya penyimpangan seksual. Dan jika tidak ada pelacuran maka kebutuhan seksual itu akan dipenuhi dengan cara yang halal dan terhormat, yaitu dengan menikah.

 

Keterpaksaan

Ayat di atas menunjuk kepada pemaksaan yang dilakukan para tuan terhadap hamba sahayanya. Keterpaksaan akan menangguhkan hukum bagi seseorang yang dipaksa. Sehingga status budak sahaya yang dipaksa tuannya melakukan perbuatan itu bebas dari hukuman. Dan kepada pemaksanyalah hukuman itu dikembalikan. Keterpaksaan hanya dapat terjadi jika disertai dengan ancaman yang membinasakan diri atau sebagian anggota tubuh seseorang, seperti ancaman dengan pembunuhan, dan sejenisnya. Tetapi jika ancaman itu tidak membahayakan maka tidak akan membuat orang berstatus terpaksa. Dari itulah dalam status keterpaksaan para budak di ayat ini disertai dengan penjelasan “keinginan para budak untuk suci”, sebab keinginan inilah yang membuatnya terpaksa, berbeda jika para budak itu menikmati pelacuran itu sebagai sesuatu yang menyenangkan, maka tidak ada istilah keterpaksaan.

 

Bentuk-bentuk Pelacuran

Pelacuran di zaman jahiliyah dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu :

1. Pelacuran berkedok Pernikahan

Pelacuran model ini sering dilakukan oleh para budak yang kurang tercukupi atau wanita merdeka yang belum bersuami atau keluarga yang melindunginya. Pelacuran model ini dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: a). Seorang wanita tinggal di rumah, bersama dengan beberapa orang laki-laki, para lelaki itu membiayai kebutuhan wanita, dan wanita itu memenuhi hajat para lelaki itu. Ketika wanita itu hamil dan melahirkan, dikumpulkannyalah seluruh laki-laki yang pernah menggaulinya, lalu dipilihlah dari sekian laki-laki itu yang diinginkan oleh wanita tadi. Dan laki-laki yang ditunjuk tidak dapat menolak. b). Seorang suami berkata kepada isterinya ketika bersih dari bulanannya: “ Datanglah ke rumah si fulan, dan mintalah digauli orang itu”. Setelah itu sang suami tidak menggauli isterinya itu sebelum ketahuan hamil. Dan ketika diketahui sudah hamil barulah suami itu bergaul dengan siterinya itu. Cara ini dimasudkan untuk mendapatkan keturunan berkualitas seperti yang diinginkan suami. c). Gundik-gundik, yang menjadi simpanan seseorang tanpa dinikahi. Mereka beranggapan, jika yang tersembunyi maka itu tidak apa-apa, tetapi yang kelihatanlah yang menjadi tercela. Inilah yang disebut Allah dalam firman-Nya dalam QS. Al Maidah/5:5.

2. Pelacuran konvensional di rumah-rumah bordil.

Pelacuran konvensional pada umumnya dilakukan oleh para budak tetapi tidak jarang pula dilakukan oleh orang-orang merdeka. Model pelacuran ini biasanya dilakukan dengan : a). Sebagian tuan pemilik budak menuntut budaknya untuk medapatkan uang dalam jumlah besar setiap bulannya, sehingga para budak itu terpaksa melacurkan diri. Sebab sangat sulit bagi mereka untuk medapatkan uang dalam jumlah besar dengan bekerja normal. b). Sebagian tuan-tuan budak sengaja menempatkan para budaknya di rumah khusus, di depan pintunya diberi tanda bebas masuk bagi siapa saja yang ingin melampiaskan syahwatnya. Para tuan itu tinggal mengambil uang yang mereka kumpulkan dari jasa jual badan itu. Jika salah satu budaknya menolak, ia pukuli dan dipaksanya untuk melayani siapa saja, sehingga pendapatan terus mengalir.  Abdullah bin Ubay, tokoh munafik seperti yang disebutkan dalam sababun-nuzul ayat ini, memiliki enam orang budak muda-muda yang cantik-cantik. Ia paksa budak-budaknya itu melacur agar mendapatkan uang dengan mudah dalam jumlah besar.

Itulah jahiliyah masa lalu yang memaksa para budak melakukan perbuatan asusila. Dan jahiliyah modern melindungi para pelacur di bawah payung hak asasi manusia, dengan mendapatkan perlindungan keamanan dan fasilitas pembinaan. Tidak ada yang berubah dari pelacuran jahiliyah masa lalu, hanya saja yang terjadi dalam jahliyah modern lebih dahsyat dari jahiliyah masa lalu. Jika pada masa lalu pelacuran itu lebih banyak dilakukan oleh para budak, dan di zaman modern ini pelacuran dilakukan oleh orang-orang yang bebas merdeka.

 

Kekayaan Hasil Pelacuran

Pelacuran adalah perbuatan haram sepanjang zaman. Dan orang yang melakukannya, memotivasi dan memfasilitasinya adalah termasuk dalam jaringan pelaku dosa besar ini. Islam memandang pelcuran sebagai salah satu bentuk jarimah (kejahatan) sosial meskipun dilakukan dengan kesepakatan dan saling menyenangkan antara subyek dan obyeknya. Islam melarang umatnya menjadikan pelacuran sebagai komoditas jasa dalam mendapatkan uang. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Mas’ud Al Anshariy yang mengatakan bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang jasa jual beli anjing, mahar pelacur, dan jasa perdukunan.

 

Bahaya Pelacuran

Dampak pelacuran tidak kalah bahayanya dengan perzinaan dalam merusak struktur masyarakat. Bahaya yang ditimbulkan oleh pelacuran itu antara lain :

a.       Menghilangkan kehormatan dan harga diri seseorang dalam masyarakat. Padahal kehormatan dan harga diri adalah modal utama dalam bermasyarakat.

b.      Pelecehan terhadap kesucian lembaga pernikahan yang halal dan sah dalam memenuhi hajat jinsiyah (kebutuhan biologis). Karena dengan adanya pelacuran akan membuat orang yang berfikir pragmatis akan mengatakan bahwa tanpa menikah ia sudah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.

c.       Pengakburan status keturunan yang mengakibatkan hilangnya kebanggaan seseorang sebagai manusia mulia yang dilahirkan dengan cara terhormat dan mulia.

d.      Penyebaran penyakit-penyakit sosial baik fisik maupun mental yang berdampak pada lemahnya daya tahan masyarakat dan runtuhnya tatanan sosial.

Tarbiyah Qur’aniyah

Penghapusan praktek pelacuran adalah salah satu bentuk usaha membangun masyarakat yang bersih, dan terhormat. Cita-cita ini tidak akan pernah terwujud jika tidak secara intensif mengembalikan solusi semua persoalan hidup ini kepada manhaj qur’aniy. Ayat 34 surah An Nur ini mengaskan perlunya kembali kepada Al Qur’an dalam mencari penjelasan atas semua persoalan. Dengan kembalikepada Al Qur’an dalam setiap menghadapi persoalan, maka seorang mukmin akan mendapatkan solusi hukum, penjelasan yang meyakinkan dan aplikasi yang mudah.

Pesan tarbiyah yang dapat dipetik dari penegasan ayat ini adalah:

a.       Menjadi kewajiban setiap pendidik untuk menjelaskan keutamaan dan kedudukan Al Que’an bagi umat ini, sehingga menggugah kebanggaan sebagai umat yang memiliki kitab suci yang mulia.

b.      Bahwa ketinggian kualitas umat dapat dibangun lewat interaksi mereka terhadap Al Qur’an.

c.       Ketenangan dan kedamaian umat ini akan ditemukan saat mereka intensif bert’amul (interaksi) dengan Al Qur’an.

Bab III

Penutup

Kesimpulan

Kajian pada firman Allah pada QS. An Nur: 27-35 merupakan sarana preventif  pola pendidikan akhlak sebagai solusi kepada umat manusia dalam berbagai adab di keluarga dan menjaga aurat. Prinsip-prinsip umum pendidikan akhlaq seperti yang termuat dalam firman Allah di atas adalah:

1. Mempersempit peluang penyimpangan

2. Menjauhkan semua faktor pengganggu (fitnah)

3. Memilih jalan yang menarik

4. Menghilangkan gangguan yang merintangi proses pemuasan yang dilakukan dengan cara halal.

Sarana prefentif pendidikan akhlaq dalam membangun keluarga dapat dipahami dalam beberapa kosep berikut ini, yaitu:

1. Isti’dzan (meminta izin) sebelum memasuki rumah

2. Ghadhdhu al bashar (menundukkan pandangan)

3. Memudahkan proses pernikahan

4. Penghapusan pelacuran

Dengan berbagai macam penjabaran dari masing-masing poin dalam pembahasan beberapa ayat tersebut, menjadikan harapan terhadap keluarga untuk lebih bisa menjaga dan diarahkan menjadi keluarga secara islami serta manusia khususnya muslim mampu menjaga aurat sebagai bentuk doktrin agama maupun kebudayaan yang lebih santun.

Daftar pustaka:

1.       Mahmud, Abdul Halim, Sil silah Tarbiyah Al Islamiyah fi Al Qur’an,, ( Kairo: Mathabi’ Dar ath Thiba’ah wa an Nasyr, 1994) Cet. I.

2.       Matta, M. Anis, Membentuk Karakter Secara Islam, Cet III, Al-I’thisom Cahaya Umat, Jakarta, 2003.

3.       Al Qosam, Abdul Malik, Husnul Al Hulqi, Islamichouse.com.

4.       Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000).

5.       Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif al-Qur-an terj. Ali Zawawi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)




Leave a Reply.